Gambar tema oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Posts

Senin, 02 Januari 2017

Indonesia Bukan Negara Kafir

- Tidak ada komentar

Indonesia Bukan Negara Kafir

(Prinsip Ketatanegaraan Indonesia dalam Pandangan M. Natsir)

Muhammad Natsir, pria murah senyum bergelar Datuk Sinaro Panjang ini lebih dikenal sebagai seorang pemimpin dan politisi kawakan yang jujur dan lurus. Lahir di sebuah kecil berhawa sejuk, Alahanpanjang, Solok, Sumatera Barat tanggal 17 Juli 1908. Karirnya sebagai politisi dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Ketika tahun 1950, Natsir menjabat sebagai perdana menteri Indonesia Mosi Integral-nya yang terkenal itu berhasil mengembalikan Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI sekaligus mengantarkannya duduk dikursi perdana menteri. Kala itu bentuk negara serikat rentan diobok-obok oleh Belanda yang kelihatan masih ingin menguasai Indonesia. Banyak negara bagian yang dihasut oleh Belanda untuk melakukan pembangkangan. Dengan Mosi Integral, akhirnya Natsir berhasil mengeliminasi kembalinya pihak asing mengkooprasi kedaulatan pemerintah Republik Indonesia.
Setelah menjadi perdana menteri karir politiknya banyak dihambat oleh Soekarno setelah selalu bersebrangan paham akhirnya pada tahun 1960, kurang dari satu tahun dari pembacaan Dekrit Presiden tahun 1959, partai yang pernah dipimpinnya, Masyumi dipaksa untuk membuarkan diri oleh Soekarno. Sejak saat itu, Natsir bersama politisi-politisi masyumi lain lebih banyak bergerak di belakang layar. Terlebih setelah Soeharto naik, Natsir dan kawan-kawan yang dicap sebagai "ekstrim kanan" benar-benar disingkirkan dari panggung perpolitikan Indonesia dengan berbagai cara. Natsir pun akhirnya memilih menekuni bidang dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia yang mengantarkannya menjadi Wakil Presiden Rabithah Alam Islami yang bermarkas  di Karachi sampai akhir hayatnya tahun 1993.
Bila melihat secara ringkas karir politik Natsir di atas, tentu Natsir bukan hanya sosok pilitisi biasa. Ia adalah politisi-ideolog yang sangat jarang sekali ditemukan di negeri ini. Sebagai politisi-ideolog Natsir pasti tidak berpolitik karena kepentingan pribadinya semata untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Ia berpolitik karena suatu keyakinan yang membentuknya, yaitu Islam. Dari keyakinan ini pula, ia bertindak di dunia politik berdasarkan apa yang diyakininya sebagai bagian dari ajaran islam yang dipegangnya. Pemikiran dan tindakan politiknya inilah yang menjadi bukti otentik tentang bagaimana sikapnya terhadap politik. Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan secara panjang lebar pemikiran poitik Natsir, melainkan hanya akan mengulas sepintas mengenai tata negara Islam yang dianggap oleh Natsir sebagai bagian dari ajaran dan pemikiran Islam.
***
Mengenai sikap politik Natsir yang sangat berpihak pada Islam sudah tidak perlu dijelaskan pajang lebar lagi. Natsir bisa dikatakan wujud hidup politisi Muslim yang berpijak pada ideologi yang kokoh. Natsir tidak pernah mau menggadaikan ideologi yang keberpihakannya pada Islam dengan apapun, termasuk jabatan atau harta benda. Ia lebih rela masuk penjara daripada menggadaikan idealisme dan kepercayaanya. Itulah yang dihadapinya ketika harus berhadapan dengan Sukarno setelah pembubaran Masyumi pada tahun 1960. Sukarno tidak mentolerir kepada siapa saja yan menentang gagasannya yang ingin menggabungkan kelompok nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Natsir berpendirian tegas sejak awal bahwa menggabungkan agama dan komuisme adalah hal yang mustahil. Oleh sebab itu, ia memilih untuk dipenjara  karena menolak gagasan Sukarno dan bahkan memprotesnya melalui gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Akan tetapi kekukuhan Natsir dalam memegang Islam sebagai ideologi politiknya tidak membuatnya bersikap hitam putih terahad politik. Hitam-putih disini artinya bahwa yang disebut "Politik Islam" adalah politik yang ada dalam satu "Negara Islam", "Daulah Islam", atau "Khalifah Islam". Mereka yang mengartikan politik berlandas ideologi Islam seperti itu tidak mengerjakan hal lain selain berniat untuk mendirikannya. Pada saat sama sistem dan konstelasi politik yang ada dianggap sebagai politik kafir atau minimal politik yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil yang harus dijauhi dan tidak bisa dijadikan alat politik untuk mendirikan Negara Islam impian mereka. Satu-satunya jalan, bagi kelompok ini, untuk mendirikan Negara Islam adalah melalui dakwah dan jihad. Dakwah bertujuan menyadarkan umat untuk menerima Negara Islam atau Khalifah Islam, sementara jihad adalah gerakan militer (perang) untuk merebut dan mengambil alih kekuasaan. Adalagi yang menghindari jihad, melainkan berusaha meyakinkan kekuatan politik yang ada untuk mengubah nengara dan kekuasaannya menjadi Islam.
Walaupun cara-cara di atas bisa saja dilakukan untuk mewujudkan Negara Islam, namun Natsir bukan tipikal politisi-islam seperti itu, terutama dalam konteks Indonesia. Terlebih dahulu Natsir meletakan Indonesia ini sebagai Negara yang telah diperjuangkan kelahirannya agar bebas dari kekuatan Penjajah Belanda. Perjuangan Natsir dan pejuang kemerdekaan lainnya bukan perjuangan dari titik nol. Ini adalah perjuangan yang telah berlangsung selama satu abad sebelumnya ketika Belanda berhasil menjadikan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, baik di Jawa maupun di pulau lainnya menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejarah mencatat nama-nama yang patut mendapat sanjungan sejarah karena keberanian mereka menentang kezhaliman Belanda seperti Imam Bonjol, Pangaran Diponegoro, Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Antasari, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan nama lainnya.
Kalau dilihat dari genealogi peruangan melawan Belanda yang mula-mula mewariskan perjuangan ini adalah para pejuang dari bekas-bekas kerajaan Islam. Mereka memperjuangkan satu negeri yang sebelunya telah diperintah atas nama Islam. Menjelan Belanda dating dan kemudian menguasai  wilayah ini, tidak satu pun wilayah di kepulauan ini yang tidak dikuasai atas nama kerjaan Islam. Kalau dipersentase, mungkin kurang dari lima persen saja wilayah yang dikuasai raja-raja tradisional. Barangkali yang paling mashur hanya kerajaan Batak di Sumatera Utara yang diperintah oleh raja-raja Sisingamangaraja. Itupun tidak mungkin Kerajaan Batak memiliki kekuatan besar tanpa membangun koalisi dengan kerajaan Aceh Darussalam yang tersohor amat kuat hingga sulit ditaklukan Belanda. Oleh sebab itu, yang diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan adalah mengembalikan “kerajaan-kerajaan Islam” yang sempat hilang. Memerdekakan Indonesia bukan membuat “Indonesia baru” yang ahistoris dari para pewarisnya. Indonesia yang dimerdekakan kemudian adalah tanah yang sebelumnya dimiliki kerajaan-kerajaan Aceh, Deli, Melayu, Indragiri, Palembang, Banten, Cirebon, Mataram, Banjar, Kutai, Gowa, hingga raja-raja kecil di Jazirah Maluku.
Oleh karena tanah ini adalah tanah warisan kerajaan-kerajaan Islam, maka sudah pada tempatnya bila kemudian para pejuang Islam mendesak  dalam rapat-rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan agar syariat Islam diakomodasikan secara khusus dan istimewa di dalam system ketatanegaraan Negara yang baru ini. Itulah kemudian yang sepakati saat ditaandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 19945. Ketika terjadi manipulasi politik dengan digagalkannya Piagam Jakarta melalui kesepakatan semu 18 Agustus 1945, para pejuang dari kalangan Islam tidak patah arah sampai disitu. Perjuangan untuk memelihara warisan kerajaan-kerajaan Islam terus dilanjutkan. Kompromi politik tercapai dengan tetap mempertahankan Negara ini tidak menjadi sekuler, walaupun dipimpim oleh Sukarno yang sangat pro terhadap gerakan Musthafa Kemal di Turki yang melakukan sekulerisasi seutuhnya. Sila pertama Pancasila menjadi monument tetap bertahannya Indonesia dalam kendali agama. Setelah itu, kompensasi politik berupa dibentuknya departemen agama tidak bisa ditolak oleh semua pihak. Dalam rumus Negara sekuler manapun tidak mungkin agama masuk menjadi bagian dari urusan public. Ia tetap menjadi urusan privat yang tidak perlu secara langsung diurusi oleh Negara. Ketika ada kesempatan untuk merancang  kembali konstitusi antara tahun 1956-1959, para pejuang Kemerdekaan dikalangan Islam ini kembali mengusulkan sekuat tenaga agar Islam menjadi dasar Negara bagi Negara baru ini. Walaupun akhirnya mereka gagal karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun apa yang mereka perjuangkan memperlihatkan kesadaran penuh bahwa mereka tengah memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka sebagai pewaris raja-raja Muslim di seluruh tanah air, bukan sebagai pewaris Belanda yang kafir dan menularkan penyakit sekularisme ke dalam tubuh rakyat Indonesia.
Kesadaran seperti inilah yang telah lebih dahulu dipegang oleh Natsir ketika meletakan Negara baru bernama Indonesia ada pada posisi apa. Bagi Natsir, Negara ini sama sekali bukan Negara kafir. Negara ini adalah pewaris kerajaan-kerajaan Islam yang secara de facto menjadi bagian dari wilayah geografis Negara Indonesia yang secara nekad diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Negara ini adalah Negara Islam atau setidaknya Negara milik umat Islam. Pancasila yang pada akhirnnya menjaadi dasar Negara pun bukan cerminan kekafiran atau hanya sekedar kesekuleran. Justru Pancasila memperlihatkan bahwa Islam masih sangat bercokol dalam ideologi bangsa ini. Disepakatinya Pancasila menjadi bukti otentik bahwa Negara ini masih berada pada pangkuan Islam. Tidak menngherankan bila dengan sangat meyakinkan Natsir menulis artikel barjudul “Pancasila Akan Layu Bila Diserahkan Pada PKI”. Artikel ini ditulis saat ia melihat kesewenang-wenangan Sukarno ingin memasukan PKI dan ideologi komunisme yang anti-agama menjadi bagian dari Negara ini melalui jargon Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom) yang digembar-gembornya saat setelah Dekrit 5 Juli 1959. Sebetulnya hal yang sama juga diyakini Natsir, yaitu apabila Pancasila disrahkan pada orang-orang sekuler yang anti-agama atau apatis terhadap agama.
Natsir amat sadar bahwa saat Negara ini merdeka, ada tantangan ideologi baru yang mengancam Negara, yaitu sekulerisme dan komunisme. Kedua ideologi ini hendak megansam Pancasila yang jelas-jelas pro-agama. Sebagai pengusung kedua idelogi asing ini ada juga yang berhasil masuk ke dalam kekuasaan; bahkan menduduki jabatan-jabatan tinggi dan strategis di Negara baru ini. Akan tetapi, walaupun orang-orang sekuler ini berada dalam kekuasaan dan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah wajah Negara ini sesuai dengan ideology mereka, namun tidak serta merta membuat status negeri ini menjadi “Negara Kafir”. Negara ini tetap warisan kerjaan-kerajaan Islam, walaupun kini dihadapkan pada ancaman akan disekulerkan dan dikomuniskan. Inilah yang dihadapi oleh pejuang Islam selepas kemerdekaan: tetap mempertahankan Islam di Negara warisan raja-raja Muslim ini.
Oleh sebab Negara ini sejak semula merupakan Negara Islam yang dihuni oleh mayoritas muslim, maka Natsir berada pada pihak yang tidak setuju ketika Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) tahun 1949 di Garut. Ia menilai bahwa apa yang dilakukan Karto---terlepas dari hak nya untuk melakukan ijtihad dan gerakan politik---tidak produktif untuk perjuangan Islam. Konon NII ini didirikan karena kekecewaan pada perjanjian Renville yang menyerahkan sebagian besar wilayah RI ini kepada Belanda, termasuk Priangan Timur yang akhirnya diklaim oleh Kartosuwiryo untuk NII-nya itu. Natsir melalui juru rundingnya dari Masyumi, Mohammad Roem, membuktikan bahwa kekhawatiran itu berlebihan. Bahkan , Natsir melalui “Mosi Integral”-nya di Parlemen saat ia menjabat Ketua Umum Partai Masyumi berhasil mempersatukan wilayah yang tercerai-barai melalui RIS (Republik Indonesia Serikat) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950. Atas pembuktiannya, seharusnya Karto mauberkompromi dengan Natsir dan Masyumi dan kembali sama-sama mempertahankan Negara baru ini agar tetap ada dalam pangkuan Islam. Sayang sekali, Karto tidak bersedia untuk bernegosiasi dan memilih untuk melanjutkan perjuangannya mendirikan NII. Perang pun tidak dapat dihindari. Dua belas tahun sejak 1950 hingga 1962, Karto yang membangun Tentara Islam Indonesia (TII) harus berhadapan dengan saudara sendiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Musim politik sudah berganti bagi Natsir. Kini  ia pun harus menjadi seteru politik Sukarno yang berada si kubu sekuler, sekalipun Sukarno tidak pernah mengakui posisi sekulernya itu. Natsir harus mengakui kepiawaian Sukarno dalam berpolitik. Tahun 1960, partai Masyumi daibubarkan. Para aktivisnya, termasuk Natsir tidak boleh lagi berpolitik. Sebagian besar dipenjarakan karena dianggap “kontra-Revolusi”. Bahkan ketika Sukarno tumbang di tangan Suharto pun, kebebasan berpolitik Natsir dan kawan-kawan belum pulih. Akhirnya, Natsir menempuh jalan lain untuk menuju kepada politik, yaitu melalui dakwah. “Dulu kita berdakwah melalui politik; sekarang kita berpolitik melalui dakwah,” begitu kira-kira  pesan Natsir ketika mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Dalam posisi itupun, sikap Natsir terhadap Negara ini tidak berubah. Ia tetap menganggap Negara ini sebagai warisan para raja Muslim; Negara ini bukan Negara kafir. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak berniat untuk mendirikan Negara baru atau menggantikan Negara ini dengan nomenklatur yang lain. Tidak juga terbesit dalam pikirannya untuk mendirikan Negara Islam (Daulah Islam) di Indonesia ini. Ia tetap menganggap Negara ini sebagai bukan Negara Kafir! Walaupun kali ini, ia harus mengakui kekalahannya dalam politik praktis. Akan tetapi, ia masih sangat leluasa dalam mempersiapkan generasi-generasi berikutnya untuk melanjutkan estafeta perjuangan dalam memelihara Negara ini tetap dalam pangkuan Islam; agama induk dari negeri ini.
***
Berdasarkan pengakuan bahwa Indonesia bukan Negara kafir inilah Natsir memiliki pijakan kokoh untuk mendorong terlaksananya prinsip-prinsip ketatanegaraan Islam di bumi Indonesia warisan para Wali ini. Lalu bagaimana pemikirannya tentang ketatanegaraan Islam yang diinginkan bagi Indonesia? Inilah pertanyaan berikut yang akan coba kita telusuri jawabannya dari beberapa tulisan dan kejadian sejarah yang dialami Natsir.
Pemikiran Natsir tentang ketatanegaraan lebih banyak dipraktikan daripada dituliskan, karena dalam hal ini ia adalah seorang praktisi yang terjun langsung mewujudkan system ketatanegaraan Indonesia semenjak ia duduk menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) atau semacam DPR sekarang, tiga kali menjadi menteri penerangan, menjadi perdana menteri, hingga ikut dalam perdebatan-perdebatan Konstituente (1956-1959) sebagai wakil dari Masyumi. Walau pun begitu, apa yang dilakukan Natsir selama ia aktif di parlemen dan pemerintahan Republik Indonesia secara pemikiran memiliki pijakan yang kuat dari tradisi pemikiran Islam tentang politik dan pemerintahan. Pemikiran pokoknya tentang sistem ketatanegaraan dalam islam tertuang dalam salah satu artikelnya berjudul “Mungkinkah Al-Qur’an Mengatur Negara.” Artikel ini kemudian diterbitkan ulang oleh Endang Saefudin Anshari dalam satu kumpulan tulisannya khusus tentang politik berjudul Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (2001).
Dalam tulisannya ini, Natsir berkesimpulan bahwa mengenai masalah politik, Islam tidak mengatur sampai kepada masalah-masalah yang detail dalam sistem ketatanegaraan. Islam hanya mengatur masalah-masalah pokok dalam politik yang tidak boleh berubah sepanjang masa. Diantara masalah-masalah pokok itu adalah pertama, kriteria pemimpin. Didalam Al-Quran maupun hadis banyak sekali dijelaskan tentang kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang hendak memikul amanah umat. Seorang pemimpin haruslah orang yang beriman, jauh dari maksiat, berakhlak baik, dan memiliki kecakapan memadai untukmenjalankan tugas-tugasnya. Kriteria umum ini ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis untuk menjadi pegangan sepanjang masa bagi manusia. Kriteria teknisnya dapat dirumuskan oleh manusia. Hanya saja, kriteria umum di atas tidak boleh berubah untuk menjamin kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.
Pokok ajaran islam yang kedua dalam hal politik adalah keharusan pengambilan keputusan melalui “musyawarah”. Perintah ini termaktub dalam Al-Quran, hadis Nabi, dan praktik kekuasaan Khulafaur-rasyidin. Musyawarah digunakan untuk mengambil keputusan yang belum secara tegas diatur dalam Al-Quran maupun sunnah. Musyawarah dilakukan bersama dengan ahli-ahlinya. Adapun bagaimana teknis musyawarah itu dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada kreativitas kaum Muslim.
Ketiga, di dalam Islam ditetapkan hak dan kewajiban apa yang dipikul oleh pimpinan dan yang dipimpinnya sekaligus secara garis besar. Misalnya, pimpinan wajib menjalankan amanah sedangkan yang dipimpin wajib taat kepada pemimpin selama memerintahkan hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Pemimpin berhak mendapatkan fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya selama bekerja atau keluarganya, sementara yang dipimpin berhak meluruskan pemimpin apabila berada dijalur yang salah sebagai bagian dari amar ma’ruf dan nahyi munkar. Sebagai hak dan kewajiban lain yang sifatnya mendasar sitetapkan dalam Al-Quran dan hadis.
Keempat, Islam uga mengharuskan kekuatan politik Islam untuk menetapkan hokum dasar dalam bermasyarakat sesuai yang ditetapkan Al-Quran dan sunnah. Sebab, dalam perkara hukum dan perundangan, Islam mengatur hukum yang tidak berubah mengikuti perubahan zaman seperti hokum yang berkaitan dengan kriminalitas antara lain: pembunuhan, perzinaan, dan pencurian. Terhadap masalah-masalah seperti ini terdapat aturan yang qoth’I di dalam Islam yang tidak boleh diubah-ubah di zaman manapun sehingga Negara harus pula menjadikannya sebagai hokum dasar. Aturan-aturan bermasyarakat lainyang juga qoth’I seperti zakat, wakaf, nikah, talak, cerai, rujuk, waris, wasiat, larangan riba, etika jual-beli, dan semisalnya yang tegas-tegas diatur dalam Al-Quran dan Sunnah juga harus diakomodasikan oleh Negara Islam.
Itulah aturan-aturan pokok dalam penyelenggaraan Negara menurut Islam. Sisanya yang tidak diatur Al-Quran dan Sunnah secara tegas diserahkan kepada manusia untuk menentukannya. Manusia dipersilahkan untuk memusyawarahkannya berdasarkan prinsip kemaslahatan umat. Dalam konteks ini pula Natsir menyetujui istilah “Demokrasi”. Ia sama sekali tidak setuju demorasi yang dimaksud adalah demokrasi sekuler yang boleh membuat aturan-aturan baru yang bertentangan dengan Al-Quran. Demokrasi hanya boleh membicarakan masalah-masalah yang tidak secara qoth’I diatur oleh Al-Quran dan Sunnah. Ini berarti natsir menolak filsafat dasar demokrasi yang menempatkan manusia (suara rakyat) sebagai penentu utama kekuasaan politik. Demokrasi semacam ini dinilainya sebagai demokrasi sekuler yang akan banyak bertentangan dengan hokum-hukum atau aturan-aturan Islam.
Pemikiran pokok tentang politik ini hampir sama degan semua pemikir Islam lainnya saat itu seperti A. Hasan, H. Agus Salim, Prof. Kahar Mudzakir, Hasbi Ash-Shiddiqy, dan yang lainnya. Khusus mengenai pemikiran Natsir ini, saat ia menjabat ketua umum Masyumi antara tahun 1952-1960, ia sempat meminta kepada Prof. Ahmad Syalabi untuk menuliskan tentang pokok-pokok pikiran tentang Negara dan politik di dalam Islam secara lebih rinci dan sistematis. Ahmad Syalabi, intelektual Mesir yang saat itu tengah menjadi visiting professor di beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta dan Jogja atas perminaan departemen agama menyanggupinya. Ia kemudian menuliskan pemikiran politik yang inti pemikirannya sejalan dengan Natsir dan politik Islam lainnya dalam As-Siyasah fi Al-Fikr Al-Islamy.
***
Pemikiran-pemikiran Natsir tentang tata Negara inilah yang kmudian ia praktikan saat ia menjadi politisi. Akan tetapi pada saat yang sama ia harus berhapan dengan kelompok-kelompok sekuler yang juga ingin memaksakan ideology mereka. Bagi kelompok sekuler pemikiran politik yang mereka usulkan semata-mata datang dari pemikiran dan falsafah Barat tentang masalah ini. Mereka mempromosikan demokrasi, namun bukan demokrasi terbatas seperti yang dipikirkan Natsir. Demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang berdasar pada falsafah asalnya dari Yunani yang dalam konteks modern diasaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (human right) yang menjamin sepenuhnya kebebasan manusia. Demokrasi semacam ini adalah demokrasi liberal sebagaimana yang dikenal dan dipraktikan di Barat.

Dalam politik Indonesia, itulah tantangan paling berat yang dihadapi Natsir. Ia tahu bahwa ini adalah ancaman yang serius bagi politik Islam. Sebagian pemikiran politik sekuler ini ada yang berhasil disusupkan dalam system ketatanegaraan dan system perundangan di negeri ini. Bertahannya KUHP model Belanda hingga saat ini menjadi salah satu contoh tantangan nyata bagi politik Islam yang menghendaki masalah-masalah pidana yang banyak aturannya dalam Al-Quran dan Sunnah dilandaskan pada Islam, bukan pikiran liberal Belanda. Jelas ini kekalahan poitik di Indonesia. Walaupun begitu, Natsir tidak serta merta setuju bahwa Negara ini telah berubah menjadi Negara “Kafir” gara-gara kemenangan kelompok sekuler dalam beberapa hal. Sepanjang dasar Negara ini Pancasila yang masih memperlihatkan keberpihakannya pada Islam, Negara ini masih belum bisa dikatakan Negara Kafir. Aturan yang sekuler hanyalah pertanda kekalahan gerakan politik islam yang harus menjadi catatan umat Islam dan gerakan politik Islam sejati. Menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara radikal untuk diganti-misalnya-dengan Daulah Islam, Negara Islam Indonesia, atau label apasaja yang barbau “Islam” bisa jadi bukan merupakan solusi kemenangan politik Islam. Sebab, sejak kemerdekaanya Indonesia telah diperjuangkan untuk menjadi Negara berbasis Islam. Sebagai hasilnya sudah jelas terlihat. Hanya perlu waktu untuk menyempurnakan kemenangan Islam. Hanya perlu waktu untuk menguji kesungguhan dan kerja keras umat Islam dalam mewujudkan cita-citanya. Wallahu A’lam. 

Kamis, 22 Desember 2016

MENCARI MODEL PEMIMPIN KOTA SANTRI

- Tidak ada komentar

MENCARI MODEL PEMIMPIN KOTA SANTRI

Oleh: Nanang Indrawan

Sejak dua tahun silam Indonesia disibukan dengan momentum pemilu, memilih atau menentukan pemimpin Negara. Pilkada serentak adalah sistem baru yang dirumuskan pemerintah untuk menunjang keberlangsungan pemilihan. yang dalam rencana, sistem baru ini akan digelar 2019 mendatang. Dani syafrudin nawawi dalam hal ini mengaskan, Indonesia sudah saatnya menggunakan sistem terbuka dan terbatas.  Pergantian model pemilihan sejatinya, sejak pertama sampai saat ini tidak ada satupun yang berbenturan dengan konstitusi, ini hanya tentang mekanisme pemilu.
Indonesia, dengan umur yang sudah cukup dewasa sejak 1945 sampai 2016 harusnya sudah mampu menghantarkan pemilih dalam pemilu pada kebijaksanaan untuk menentukan pilihannya, sosok pemimpin yang ideal. Ideal disini , bukan semata menurut personal melainkan komunal. Masyarakat seharunya tidak lagi disibukan dengan model pemilihan, sudah semestinya berbicara tentang studi kelayakan yang pada posisi ini tidak semata meniti faktor kedekatan, keluarga atau hanya karena calon sudah memberikan fasilitas hidup bagi pemilih.
2017 adalah tahun dimana masyarakat kota Tasikmalaya diperjumpakan kembali dengan momentum penting dalam menunjang keberlangsungan hidup warga Kota Tasikmalaya. Pemilihan kepala daerah atau walikota. Tercatat dalam KPU ada tiga nama calon. Yang ketiganya sama, tidak ada yang tidak baik.
Sosok seorang pemimpin tentu sangat dibutuhkan. Masyarakat jangan lagi dikerangkeng pikiranya pada politik yang tidak etik. etik disini dalam upaya pemilihan, apakah mengedepankan rasionalitas atau syar’i. yang pada kebanyakan pendapat mengatakan bahwa, rakyat itu mencerminkan pemimpin, bentuk penilaian baik dan buruk  pemimpin bisa kita tilai dari sejauh mana rakyatnya memberlangsungkan kehidupan. Maka dalam hal ini harus ada penunjang kaifyat dalam pemilihan.  Kalau mengedapankan rasionaltias, tentu pada posisi ini personal berhak mentafsikan dengan bebas, lain hal apabila disandarkan pada konsep syar’i.
Penulis ingin mencoba menawarakan prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam yang diulas abu hasan al mawardi dalam kitab ahkamus sultaniyah. Ideal seorang pemimpin harus memilki kriteria yang :

1.    Bersifat adil
2.    Berpengetahuan
3.    Memiliki kemampanan mendengar
4.    Memiliki kearifan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan umum.
5.    Memiliki fisik yang sehat
6.    Memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasan islam dan untuk memperthankannya dari serangan musuh
7.    Tidak mengkooptasi (mengkotakan) kecintaan.
Model kepemimpinan diatas tidak hanya berlaku untuk ummat Islam semata melainkan seluruh umat manusia, filosofis kepemimpinan dalam islam menderivasikan sebuah pedoman yang semestinya harus diadaptasikan oleh setiap manusia yang kelak jadi pemimpin Negara. Diantaranya :
1.  Hikmah, ajaklah manusia kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bijaksana (QS. Al-Nahl: 125)
2.  Qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasehat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. Al-Ahzab :21)
3.  Diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin menyelesaikanya dengan diskusi atau bertukar pikiran (QS. Al-Nahl: 125)
4.  Musawarah, adalah suatu bentuk perlibatan seluruh komponen masyarakat secara proporsional dan keikitsertaan dalam pengambilan keputusan atau kebijaksanaan (QS. Al-Nisa: 58, QS Al-Maidah: 8)
5.  Kelembutan hati dan saling mendoakan
6.  Sinergis membangun keberasamaan
Model pemimpin yang mesti dicari untuk kota tasikmalaya idealnya seperti yang diatas, pun kalau tidak ditemukan.  Maka kita berhak meminjam istilah dalam uhul fiqh “man’la yudrakhu quluh wala yud’rakhu quluh” kalau tidak ada semuanya, maka carilah yang mendekati. Mulai sejak dini kesadaran tentang pentingnya memilih pemimpin yang kelak akan menentukan berlangsungnya hajat ummat dan bangsa harus menjadi prioritas, jangan lagi ada peristiwa golput yang tentu hal ini tidak baik jika kita menemukan sosok ideal seperi dibahas dimuka.

“Tasikmalaya dengan idiom kota santri, semoga terus berkesinamungan” jangan sampai hilang, sebab hal tersebut bagian dari identitas Tasikmalaya sejak zaman pendeklarasian.

Dunia Yang Terbalik

- Tidak ada komentar

Dunia Yang Terbalik

Indonesia mayoritas agama islam, tapi, yang paling disudutkan umat muslim

Lebih serem yang pake cadar, dari pada yang pake rok mini

Lebih serem yang pake jenggot, dari pada yang tatoan

Pake baju tauhid ditangkep, yang pake baju PKI gapapa

Lebih curiga sama yang rajin ibadah di Mesjid, daripada orang yang mabuk-mabukan dan judi

Diduga teroris langsung ditembak, bandar narkoba Internasional bisa di nego

Lebih mentolerir aliran sesat, daripada syariat

Dunia ini sudah terbalik??
Yang nyunnah - radikal
Yang nyeleneh - toleran

Yang jilbab syar'i - ekstrim
Yang ga pake jilbab - cantik

Yang nikah lagi - penjahat
Yang main pelacur - biasa lelakii

Yang muda sholat 5waktu - waspadai
Yang muda ga sholat - masih muda ini

Yang jenggotan rajin ke Mesjid - teroris
Yang jenggotan rajin ke Clubing - keren

Yang ke Masjis Ta'lim pekannan - fanatik
yang kebioskop harian - gaul

Yang hafal Al Qur'an 30juz - militan
Yang hafal banyak musik - hebat

Yang anaknya dijilbabin - keterlaluan, melanggar HAM
Yang anaknya pake rok mini - imut

Yang pake baju koko - sok alim
Yang pake baju sobek - jantan

Yang hariannya bicara tentang Islam - dipanggil sok Ustadz
yang hariannya menghina Islam - ditolerir

Media Islam - radikal
Media porno - kebutuhan

Buka mata hati kalian temannn...!!

بدأ الإسلام غريباً وسيعود غريباً كما بدأ فطوبى للغرباء

"Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu." (H.R. Muslim no. 208)

lalu sahabat bertanya kepada Rasul, siapakah orang asing itu  ya Rasul? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : "mereka ialah orang-orang yang senantiasa melakukan kebaikan di tengah kerusakan." (H.R. Ahmad)

Dan ingatlah bahwa kalian semua pasti mati dan hanya kepada Allah kalian akan kembali serta diminta pertanggung jawaban masing-masing atas perbuatan kalian sendiri.


Maka bersegeralah kita bertobat, selagi masih ada kesempatan... Solusinya hanya dengan menerapkan Syari'ah Islamlah kehidupan Dunia dan Akhirat yang hasanah akan terwujud.

Sabtu, 03 Desember 2016

Kita Butuh Apa di Arena Politik Hari Ini ?

- Tidak ada komentar
Oleh : Andri Nurkamal
Kabid Kaderisasi PP HIMA Persis

Ilustrasi : Bendera Partai Politik

Kosakata politik dalam berbagai perspektif memiliki istilah khusus. Ungkapan politik sebagai seni misalnya (Yunani Romawi Kuno), atau panggilan politik dengan padanan nama siyasah (istilah Islam). Juga sebagaimana yang kita kenal dari teori Machiaveli dengan sebutan cara meraih kekuasaan (dengan bagaimanapun caranya. Terkategorikan politisi manakala hasil menunjukkan kebenaran wujudnya). Meski begitu, masing-masing istilah dipanggul di atas pundak raisons (alasan-alasan). Alasan-alasan itulah yang menjadi tumpuan manakala gelar politik yang difahaminya digunduli, dirobohkan, dan dikritisi. Dengan alasan, perspektif menjadi bisa mending dan berdiri kokoh mesti tidak semua kekokohan berdimensi suatu kebenaran. Dengan metodik taqrib (pendekatan) tersebut kita dapat menimbang politik dari wazan (perseimbangan) yang tepat. Islam dalam hal ini memiliki standar yang baku sebagai pondasi dan kunci dasar mengimplementasikan politik (yang dikehendaki) Islam dalam dimensi realitas masyarakat di daerah secara khusus dan di Negara lebih umumnya.

Sebagai Negara yang menganut system demokerasi, ada tiga kata yang dikerat dan melekat, “dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat.” Muara ahir dari semua kebijakan pemerintah ditujukan pada kemakmuran yang merata semata-mata, demi rakyat. Rakyat adalah pemilik kedaulatan. Maka menjadi mandat rakyat untuk diemban sebagai amanah bahwa kebijakan dan segala hal ihwal bangsa ini, kemakmuran rakyat Indonesialah yang menjadi timbangan awal dan ahir pengambilan kebijakan pemerintah.

Menilik realitas politik keberpihakan terhadap rakyat yang kian melemah dan memudar, penting kita unjukkan suatu gugahan kritik tajam buat aktor-aktor politik yang telah buram dari niyatan demokerasi yang paling jujur. Hasil dari petikan fakta di lapangan, rakyat telah beralih dan dikilahkan dari sakralitas entitasnya. Tarohlah kita mengangkat terma besar tentang wawasan kerakyatan dalam suksesi kontestan politik di pagelaran momentumorial PILKADA misalnya, dipastikan maqom (derajat) rakyat adalah sekedar massa politik yang digiring untuk mahkota politikus yang multi interest segelintir orang atau kelompok saja. Tidak lebih, rakyat adalah sapi perah suara yang buihnya akan dibeli atau persepsi idenya diiming-imingi kelezatan masa depan yang manipulative (menipu). Nampaknya, kicauan-kicauan keterwakilan atas nama rakyat oleh pengicau-pengicau politik adalah sekedar suara penyihir para politikus rakus. Dalam istilah Dr. Dody S. Taruna dalam kata pengantar panduan siyasah jam’iyyah PERSIS (cet. 2015), disebutnya bahwa fenomena tersebut sebagai pergeseran paradigma dan aksentuase politik.

Politik to day (hari ini) dengan setiap instrumennya telah menuntun secara berbondong-bondong pada adagium yang dilontarkan oleh Harold Laswell, bahwa soal politik melingkar pada masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (Who Gets What, When And How). Dari legitimisi ini para pemilik modal bergandengan tangan dengan penguasa untuk mengolah rakyat dalam pemenangan di puncak ruang strategis yang dengannya terjadi kontrak politik untuk saling menguntungkan diantara satu dengan yang lainnya.
Orientasi politik juga sulit kita gembor-gemborkan masih keluar dari sanubari kerakyatan. Oleh sebab upaya mengekalkan kekuasaan segelintir orang, baik dari kelompok para pemilik modal atau para pemuja kuasa hierarki, sesungguhnya lebih kentara ketimbang asas peduli rakyat. Sehingga definisi politik demokerasi secara progresif sedang menggulung pengertiannya yang suci ke arah ruang pengap bagi masa depan rakyat Indonesia. Politik demokerasi sebagai pengagungan terhadap rakyat, sudahlah kini menjadi pengagungan kaum kuasa dan konglomerat dari kelas capital (sang empunya modal). Secara faktasional, definisi ini lebih mengena dibanding pengertian teoritis yang masih bersih di buku-buku.

Imam Bukhori meriwayatkan salah sebuah sabda Muhammad Saw. dalam topik amanah umat, “seseorang yang ditetapkan Allah Swt. untuk mengurus kepentingan umat, kemudian ia tidak memberi nasihat kepada mereka, maka ia tidak akan mencium wanginya syurga.” Tegas Muhammad Saw..Tidak diragukan, pemaknaan politik tidak boleh disekulerisasi sehingga kosong dari asas teologi. Oleh sebab itu Islam berbicara purna dalam paradigma mendasar politik. Karenanya, (termasuk) dalam topik politik diperlukan suatu pandangan khaouf (takut) dan roja’ (harapan). Khaouf yang melandaskan kondisi tunduk patuh jiwa pada Allah Swt.. yang akan memintai pertanggung jawaban. Dengan khouf, akan terbitlah sikap ikhtiyat (kehati-hatian) dan kesungguh-sungguhan prilaku politik. Dari khouf, kita digeser pada cursor selanjutnya, yakni roja’. Harapan inilah yang menjadi pemantik dan cahaya penerang yang terus dituju menuju pahala terbaik di sisi Allah Swt.. Politisi Islam akan melandasi niyat dan pengambilan kebijakan serta prilaku politiknya dengan mengedepankan teologis dalam memakmurkan rakyat untuk terciptanya iklim kondusif yang adil, aman sentosa, dan harmoni.

Politik dengan segala dimensinya adalah amanah. Suatu mandat Tuhan untuk mengharmonisasi kehidupan masyarakat, yang sama rata dan berkeadilan untuk gotong royong (ta’awun), sehingga terpenuhi hak dan kewajiban yang telah digariskan sebagai kadar masing-masing. Selama ta’awun politik (dalam kebaikan dan taqwa) masih dipandang euphoria yang mustahil direfleksikan dalam realitas lapangan, berarti politik kita akan terus mapan di kalangan tuan-tuan kapital. Lantas rakyat (sekali lagi) hanyalah jembatan masa yang digarap untuk legitimasi suksesi kepentingan mereka. Pada kondisi genting ini, penting kita menciptakan kader siyasah (politik) yang negarawan dengan mentalitas mujaddid (reformis) untuk melakukan pembaharuan zona politik supaya kembali pada kepatutannya. Politik yang merakyat dengan tulus  bukan akal-akalan bulus, politik yang santun dan berakhlak, politik berkemandirian keindonesiaan, dan politik yang theological democrasy (Istilah Mohamad Natsir: sang mositor integral NKRI).

Kamis, 01 Desember 2016

Qunut Nazilah Untuk Muslim Rohingya

- Tidak ada komentar
Ketika umat Islam mengalami penindasan oleh orang-orang kafir, maka Rasulullah SAW mendo'akan mereka dengan Qunut Nazilah. Adapun redaksi dari do'a Qunut sendiri tidaklah sama, tergantung dari situasi umat Islam yang tertindas.
Adapun do'a Qunut Nazilah yang bisa diterapkan untuk saudara Muslim di Rohingya adalah :

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِى رُوْهِينْغِيَا, اللَّهُمَّ انْصُرْ المُسْلِمِيْنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ فِى كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى أعْدَاءِ الدِّيْنِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ وَالظَّالِمِيْنَ فِى رُوْهِينْغِيَا و فِى كُلِّ مَكَانٍ.
Ya Allah selamatkanlah kaum Muslimin yang tertindas di Rohingya, ya Allah tolonglah kaum Muslimin yang lemah di berbagai tempat, ya Allah keraskanlah pijakanMu kepada musuh-musuh Islam, orang-orang kafir dan dzalim di Rohingya dan dimana saja

“ DIBACA PADA WAKTU I’TIDAL RAKAAT TERAKHIR TIAP SHALAT FARDHU “

Selasa, 29 November 2016

Ragam Ketaatan Manusia Terhadap Allah

- Tidak ada komentar
Ragam Ketaatan Manusia Terhadap Allah

oleh : KH. Aceng Zakaria


Setiap orang beriman seharusnya siap dan sadar untuk ta'at kepada Allah, dan tidak ada pilihan lain kecuali; sami'na wa atha'na. Allah swt telah menegaskan dalam firman-Nya: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin apabila Alla dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat itu nyata." (Q.S. Al-Ahzab [33] : 36)

Ayat ini berkaitan dengan kasus Zainab bin Jahsy, dimana Rasulullah saw meminang Zainab untuk Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya Rasulullah. Zainab dan saudaranya yang bernama 'Abdullah menolak pinangan tersebut, lalu turunlah ayat ini. Mereka pun kemudian menerima untuk dinikahi oleh Zaid, dan Rasul langsung menikahkan mereka.

Dalam ayat lain Alloh swt menegaskan: "Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan; "Kami mendegar dan Kami patuh", dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S. An-Nur [24] : 51)

Ayat ini juga menegaskan bahwa sikap orang yang beriman hendaklah sami'na wa atha'na terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya dan mereka itulah orang yang beruntung.

Itulah seharusnya sikap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kenyataannya, masih beragam ketaatan manusia terhadap Allah, diantaranya: Taat untuk melaksanakan shalat tetapi enggan mengeluarkan zakat karena dirasakan merugikan; taat untuk melaksankan shalat tetapi merasa berat untuk melaksanakan shaum Ramadhan; taat untuk melaksankan shalat dan shaum tetapi masih merasa berat untuk konsisten dalam menutup aurat; taat untuk melaksanakan shalat dan shaum Ramadhan, tetapi dalam hal aqidah masih percaya kepada dukun dan paranormal; taat dalam melaksanakan ibadah ritual tetapi dalam hal ibadah sosial masih banyak pelanggaran, baik terhadap tetangga, orangtua, atau terhadap pembantu rumah tangga; taat dalam melaksanakan shalat dan ibadah yang lainnya tetapi dalam hal berbisnis masih banyak terlibat dalam sistem riba dan ekonomi yahudi; memerima syariat shalat, zakat, shaum dan haji tetapi menolak syariat jinayat menurut hukum islam, dianggapnya bahwa hukum Islam tidak pas dan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Dianggap melanggar HAM, dan akan membuat disintegrasi bangsa, dan dianggap tidak berprikemanusiaan karena yang mencuri seperempat dinar saja atau kurang lebih satu juta rupiah harus dipotong tangannya, dan yang berbuat zina harus dirajam sampai mati.

Itulah ragam ketaatan manusia terhadap aturan dan ketentuan Allah swt. Padahal seharusnya taat kepada Allah itu hendaklah secara kaffah (menyeluruh) agar tidak termasuk kelompok orang yang "beriman terhadap sebagian ayat dan kuufur terhadap ayat yang lain. . ." (Q.S. Al-Baqarah [2] : 85). Dan semua aturan dan ketentuan Allah itu pasti cocok dengan fitrah manusia. Buktinya, selama 10 tahun Nabi menerapkan syari'at Islam dai Madinah, tidak sampai 10 orang yang mencuri yang sampai dipotong tangan. Demikian juga tidak sampai 10 orang yang berbuat zina yang sampai dihukum rajam. Sementara di Indonesia mungkin jutaan orang yang mencuri dan yang melakukan prostitusi setiap harinya.

Prioritaskan Perintah Allah
Jika terjadi dua perintah yang bertentangan, katakanlah kedua orangtua memerintah sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka prioritaskan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepadaKulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. Lukman [31] : 15)

Ayat ini menegaskan bahwa jika kedua orangtua memaksamu untuk melakukan syirik kedapa Allah, maka janganlah kamu mentaati perintah kedua oangtua dan taatilah perintah Allah. Hal ini adalah wajar, karena Allah arhamur-rahimin, zat yang paling kasih sayang diantara meraka yang penuh kasih sayang; Allah menyayangi hamba-Nya melebihi kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Orangtua baru mencurahkan setelah kasih sayangnya setelah anak intu lahir, itupun selama ibunya terjaga, belum tidur. Sedangkan disaat ibunya tidur, anak sudah diluar pengawasan ibunya. Sedangkan Allah telah mencurahkan kasih sayangnya dari mulai anak masih dalam kandungan, siapa yang merawat bayi dala kandungan? Memproses pertumbuhan janin sampai lahir ke dunia? Demikian juga Allah tidak hanya mengurus hamba-Nya sampai lahir, tetapi setelah dewasa pun masih tetap dalam perawatan-Nya. oleh karena itu, wajarlah kalau harus memprioritaskan perintah Allah daripada perintah kedua orang tua.

Demikian juga jika seseorang memerintahkan sesuatu yang bertentangan dalam perinah Allah, maka janganlah ia mentaati perintahnya. katakanlah, seorang atasan atau penguasa memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka jangan ditaati perintahnya, apapun resikonya karena Allah adalah Maha Penguasa di atas semua para penguasa. Dalam suatu hadits dinyatakan sebagai berikut: "Tidak ada ketaatan terhadap siapapun makhluk jika harus mendurhakai Allah sebagai khaliqnya."

Dalam ayat yang lain Allah swt menegaskan: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah oran-orang yang dzalim. Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Q.S. At-Taubah [9] : 23-24).

Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa sikap seorang mukmin hendaklah lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mentaati peraturannya daripada perintah selain perintah Allah dan Rasul-Nya, siapapun mereka dan jabatan yang diraihnya.


dikutip dari:
MAJALAH RISALAH

edisi:
Dzulqa'dah 1437 / September 2016

Kamis, 24 November 2016

Gerakan Dakwah

- Tidak ada komentar
Ikhtiar Mengembangkan Pergerakan Dakwah
(sebuah pengantar)
Oleh : Ust. d. Reviana Ibrahiem, S.Sos

Dalam pengertian logika, pergerakan bukanlah suatu hal yang istimewa. Karena bergerak dan dinamis itu merupakan ciri utama bagi makhluk hidup. Hanya pergerakan memiliki keutamaan lebih dari sekedar bergerak, karena pergerakan selalu berkaitan dengan perubahan, perubahan dengan sendirinya akan berlawanan dengan arus kemapanan (status quo).

Demikia halnya dengan pergerakan dalam islam. Pergerakan yang sepadan dengan makna harakah, sebetulnya terkait dengan tujuan Islam yang tinggi yaitu dakwah. Harakah menjadi sebentuk makna sosiologis bagi dakwah Islam yang mesti diemban oleh setiap da’i (penggerak dakwah dan pergerakan) yaitu mereka yang memiliki keunggulan ilmu dan metalitas dalam menunaikan pergerakan dakwah Islam.

Pergerakan adalah cita-cita sekaligus metode dari ajaran Islam yang diteladankan Rasululloh SAW kepada umatnya. Dalam literature khazanah fiqih kontemporer, fikih harakah sering disebut juga sebagai fiqih Hadarah atau cita-cita peradaban. Yaitu bagaimana memandu pergerakan umat dalam rangka membangun peradaban luhur dan komunitas unggul ditengah umat-umat dunia lainnya. Komunitas muslim dinilai mesti lebih baik dari pada makhluk hidup lain maupun umat manusia lain dimanapun.

Pergerakan islam seperti yang dicontokan Rosul dalam sirah dakwah, adalah terencana dan merupan sebuah rekayasa, tidak asal-asalan sekenanya. Konsep pergerakan selalu memerlukan persiapan matang dan strategi yang tepat dalam mewujudakan tujuan dari pergerakan tersebut. Pendeknya, pergerakan adalah perencanaan pergerakan dari mana menuju kemana. Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam sebuah pergerakan: pertama, tujuan dan misi pergerakan. Kedua, pelaku penggerak (muharrik). Ketiga, tempat atau basis pergerakan (markas al-dakwah). Keempat, komunitas pendukung baik pengikut utama (ashhabun) maupun penyokong pergerakan (hawariyyun).
Dalam sebuah pergerakan tentunya harus memiliki sebuah tujuan dan misi yang jelas. Lantas, apa tujuan tertinggi dari dakwah Islam? Tujuan utama dalam dakwah ini tiada lain untuk membentuk komunitas umat terbaik (khairu ummah) dalam tatanan umat yang unggul. Perlu dipahami bersama bahwa kualitas umat terbaik bukanlah jaminan gratisan tanpa ruh dan keringat, melainkan memerlukan upaya dan proses tanpa henti.

Terdapat enam dimensi dalam upaya membentuk umat terbaik.
[1] Dimensi Keagamaan, yaitu ikatan aqidah yang sama, nabi yang sama, dan kitab suci yang sama;
[2] Dimensi Kemanusiaan, yaitu bahwa ajaran Islam tidak hanya mementingkan hubungan ibadah yang bersifat ilahiyah tapi juga hubungan kemanusiaan yang bersifat insaniyah;
[3] Dimensi Kemasyarakatan, berupa misi persaudaraan Islam yang lebih kuat dari pada hubungan nasab dan keturunan;
[4] Dimensi Geografis, yaitu ikatan wilayah yang membentuk satu kesatuan unit yang utuh;
[5] Dimensi Peradaban, membentuk peradaban yang luhur dan jelas yang tak lain peradaban Islam;
[6] Dimensi Misi dan Tujuan yang menjadi pengikat utama kebersamaan umat.

Karena sifat dari pergerakan adalah perubahan, maka untuk merealisasikan tugas pergerakan dan peradaban tersebut mesti terwujudkan dalam lima pondasi utama membentuk peradaban, yaitu:
[1] Mengubah kebodohan menjadi pengetahuan;
[2] Mengubah pengetahuan menjadi ide pemikiran;
[3] Mengubah ide pemikiran menuju bentuk pergerakan;
[4] Mengubah pergerakan menjadi tujuan.
[5] Mengubah tujuan peradaban menjadi keridhaan Allah.