Gambar tema oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 29 November 2016

Ragam Ketaatan Manusia Terhadap Allah

Ragam Ketaatan Manusia Terhadap Allah

oleh : KH. Aceng Zakaria


Setiap orang beriman seharusnya siap dan sadar untuk ta'at kepada Allah, dan tidak ada pilihan lain kecuali; sami'na wa atha'na. Allah swt telah menegaskan dalam firman-Nya: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin apabila Alla dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat itu nyata." (Q.S. Al-Ahzab [33] : 36)

Ayat ini berkaitan dengan kasus Zainab bin Jahsy, dimana Rasulullah saw meminang Zainab untuk Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya Rasulullah. Zainab dan saudaranya yang bernama 'Abdullah menolak pinangan tersebut, lalu turunlah ayat ini. Mereka pun kemudian menerima untuk dinikahi oleh Zaid, dan Rasul langsung menikahkan mereka.

Dalam ayat lain Alloh swt menegaskan: "Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan; "Kami mendegar dan Kami patuh", dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S. An-Nur [24] : 51)

Ayat ini juga menegaskan bahwa sikap orang yang beriman hendaklah sami'na wa atha'na terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya dan mereka itulah orang yang beruntung.

Itulah seharusnya sikap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kenyataannya, masih beragam ketaatan manusia terhadap Allah, diantaranya: Taat untuk melaksanakan shalat tetapi enggan mengeluarkan zakat karena dirasakan merugikan; taat untuk melaksankan shalat tetapi merasa berat untuk melaksanakan shaum Ramadhan; taat untuk melaksankan shalat dan shaum tetapi masih merasa berat untuk konsisten dalam menutup aurat; taat untuk melaksanakan shalat dan shaum Ramadhan, tetapi dalam hal aqidah masih percaya kepada dukun dan paranormal; taat dalam melaksanakan ibadah ritual tetapi dalam hal ibadah sosial masih banyak pelanggaran, baik terhadap tetangga, orangtua, atau terhadap pembantu rumah tangga; taat dalam melaksanakan shalat dan ibadah yang lainnya tetapi dalam hal berbisnis masih banyak terlibat dalam sistem riba dan ekonomi yahudi; memerima syariat shalat, zakat, shaum dan haji tetapi menolak syariat jinayat menurut hukum islam, dianggapnya bahwa hukum Islam tidak pas dan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Dianggap melanggar HAM, dan akan membuat disintegrasi bangsa, dan dianggap tidak berprikemanusiaan karena yang mencuri seperempat dinar saja atau kurang lebih satu juta rupiah harus dipotong tangannya, dan yang berbuat zina harus dirajam sampai mati.

Itulah ragam ketaatan manusia terhadap aturan dan ketentuan Allah swt. Padahal seharusnya taat kepada Allah itu hendaklah secara kaffah (menyeluruh) agar tidak termasuk kelompok orang yang "beriman terhadap sebagian ayat dan kuufur terhadap ayat yang lain. . ." (Q.S. Al-Baqarah [2] : 85). Dan semua aturan dan ketentuan Allah itu pasti cocok dengan fitrah manusia. Buktinya, selama 10 tahun Nabi menerapkan syari'at Islam dai Madinah, tidak sampai 10 orang yang mencuri yang sampai dipotong tangan. Demikian juga tidak sampai 10 orang yang berbuat zina yang sampai dihukum rajam. Sementara di Indonesia mungkin jutaan orang yang mencuri dan yang melakukan prostitusi setiap harinya.

Prioritaskan Perintah Allah
Jika terjadi dua perintah yang bertentangan, katakanlah kedua orangtua memerintah sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka prioritaskan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepadaKulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. Lukman [31] : 15)

Ayat ini menegaskan bahwa jika kedua orangtua memaksamu untuk melakukan syirik kedapa Allah, maka janganlah kamu mentaati perintah kedua oangtua dan taatilah perintah Allah. Hal ini adalah wajar, karena Allah arhamur-rahimin, zat yang paling kasih sayang diantara meraka yang penuh kasih sayang; Allah menyayangi hamba-Nya melebihi kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Orangtua baru mencurahkan setelah kasih sayangnya setelah anak intu lahir, itupun selama ibunya terjaga, belum tidur. Sedangkan disaat ibunya tidur, anak sudah diluar pengawasan ibunya. Sedangkan Allah telah mencurahkan kasih sayangnya dari mulai anak masih dalam kandungan, siapa yang merawat bayi dala kandungan? Memproses pertumbuhan janin sampai lahir ke dunia? Demikian juga Allah tidak hanya mengurus hamba-Nya sampai lahir, tetapi setelah dewasa pun masih tetap dalam perawatan-Nya. oleh karena itu, wajarlah kalau harus memprioritaskan perintah Allah daripada perintah kedua orang tua.

Demikian juga jika seseorang memerintahkan sesuatu yang bertentangan dalam perinah Allah, maka janganlah ia mentaati perintahnya. katakanlah, seorang atasan atau penguasa memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka jangan ditaati perintahnya, apapun resikonya karena Allah adalah Maha Penguasa di atas semua para penguasa. Dalam suatu hadits dinyatakan sebagai berikut: "Tidak ada ketaatan terhadap siapapun makhluk jika harus mendurhakai Allah sebagai khaliqnya."

Dalam ayat yang lain Allah swt menegaskan: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah oran-orang yang dzalim. Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Q.S. At-Taubah [9] : 23-24).

Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa sikap seorang mukmin hendaklah lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mentaati peraturannya daripada perintah selain perintah Allah dan Rasul-Nya, siapapun mereka dan jabatan yang diraihnya.


dikutip dari:
MAJALAH RISALAH

edisi:
Dzulqa'dah 1437 / September 2016

0 on: "Ragam Ketaatan Manusia Terhadap Allah"