Oleh : Andri Nurkamal
Kabid Kaderisasi PP HIMA Persis
Ilustrasi : Bendera Partai Politik
Kosakata politik dalam berbagai perspektif memiliki istilah khusus. Ungkapan politik sebagai seni misalnya (Yunani Romawi Kuno), atau panggilan politik dengan padanan nama siyasah (istilah Islam). Juga sebagaimana yang kita kenal dari teori Machiaveli dengan sebutan cara meraih kekuasaan (dengan bagaimanapun caranya. Terkategorikan politisi manakala hasil menunjukkan kebenaran wujudnya). Meski begitu, masing-masing istilah dipanggul di atas pundak raisons (alasan-alasan). Alasan-alasan itulah yang menjadi tumpuan manakala gelar politik yang difahaminya digunduli, dirobohkan, dan dikritisi. Dengan alasan, perspektif menjadi bisa mending dan berdiri kokoh mesti tidak semua kekokohan berdimensi suatu kebenaran. Dengan metodik taqrib (pendekatan) tersebut kita dapat menimbang politik dari wazan (perseimbangan) yang tepat. Islam dalam hal ini memiliki standar yang baku sebagai pondasi dan kunci dasar mengimplementasikan politik (yang dikehendaki) Islam dalam dimensi realitas masyarakat di daerah secara khusus dan di Negara lebih umumnya.
Sebagai Negara yang menganut system demokerasi, ada tiga kata yang dikerat dan melekat, “dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat.” Muara ahir dari semua kebijakan pemerintah ditujukan pada kemakmuran yang merata semata-mata, demi rakyat. Rakyat adalah pemilik kedaulatan. Maka menjadi mandat rakyat untuk diemban sebagai amanah bahwa kebijakan dan segala hal ihwal bangsa ini, kemakmuran rakyat Indonesialah yang menjadi timbangan awal dan ahir pengambilan kebijakan pemerintah.
Menilik realitas politik keberpihakan terhadap rakyat yang kian melemah dan memudar, penting kita unjukkan suatu gugahan kritik tajam buat aktor-aktor politik yang telah buram dari niyatan demokerasi yang paling jujur. Hasil dari petikan fakta di lapangan, rakyat telah beralih dan dikilahkan dari sakralitas entitasnya. Tarohlah kita mengangkat terma besar tentang wawasan kerakyatan dalam suksesi kontestan politik di pagelaran momentumorial PILKADA misalnya, dipastikan maqom (derajat) rakyat adalah sekedar massa politik yang digiring untuk mahkota politikus yang multi interest segelintir orang atau kelompok saja. Tidak lebih, rakyat adalah sapi perah suara yang buihnya akan dibeli atau persepsi idenya diiming-imingi kelezatan masa depan yang manipulative (menipu). Nampaknya, kicauan-kicauan keterwakilan atas nama rakyat oleh pengicau-pengicau politik adalah sekedar suara penyihir para politikus rakus. Dalam istilah Dr. Dody S. Taruna dalam kata pengantar panduan siyasah jam’iyyah PERSIS (cet. 2015), disebutnya bahwa fenomena tersebut sebagai pergeseran paradigma dan aksentuase politik.
Politik to day (hari ini) dengan setiap instrumennya telah menuntun secara berbondong-bondong pada adagium yang dilontarkan oleh Harold Laswell, bahwa soal politik melingkar pada masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (Who Gets What, When And How). Dari legitimisi ini para pemilik modal bergandengan tangan dengan penguasa untuk mengolah rakyat dalam pemenangan di puncak ruang strategis yang dengannya terjadi kontrak politik untuk saling menguntungkan diantara satu dengan yang lainnya.
Orientasi politik juga sulit kita gembor-gemborkan masih keluar dari sanubari kerakyatan. Oleh sebab upaya mengekalkan kekuasaan segelintir orang, baik dari kelompok para pemilik modal atau para pemuja kuasa hierarki, sesungguhnya lebih kentara ketimbang asas peduli rakyat. Sehingga definisi politik demokerasi secara progresif sedang menggulung pengertiannya yang suci ke arah ruang pengap bagi masa depan rakyat Indonesia. Politik demokerasi sebagai pengagungan terhadap rakyat, sudahlah kini menjadi pengagungan kaum kuasa dan konglomerat dari kelas capital (sang empunya modal). Secara faktasional, definisi ini lebih mengena dibanding pengertian teoritis yang masih bersih di buku-buku.
Imam Bukhori meriwayatkan salah sebuah sabda Muhammad Saw. dalam topik amanah umat, “seseorang yang ditetapkan Allah Swt. untuk mengurus kepentingan umat, kemudian ia tidak memberi nasihat kepada mereka, maka ia tidak akan mencium wanginya syurga.” Tegas Muhammad Saw..Tidak diragukan, pemaknaan politik tidak boleh disekulerisasi sehingga kosong dari asas teologi. Oleh sebab itu Islam berbicara purna dalam paradigma mendasar politik. Karenanya, (termasuk) dalam topik politik diperlukan suatu pandangan khaouf (takut) dan roja’ (harapan). Khaouf yang melandaskan kondisi tunduk patuh jiwa pada Allah Swt.. yang akan memintai pertanggung jawaban. Dengan khouf, akan terbitlah sikap ikhtiyat (kehati-hatian) dan kesungguh-sungguhan prilaku politik. Dari khouf, kita digeser pada cursor selanjutnya, yakni roja’. Harapan inilah yang menjadi pemantik dan cahaya penerang yang terus dituju menuju pahala terbaik di sisi Allah Swt.. Politisi Islam akan melandasi niyat dan pengambilan kebijakan serta prilaku politiknya dengan mengedepankan teologis dalam memakmurkan rakyat untuk terciptanya iklim kondusif yang adil, aman sentosa, dan harmoni.
Politik dengan segala dimensinya adalah amanah. Suatu mandat Tuhan untuk mengharmonisasi kehidupan masyarakat, yang sama rata dan berkeadilan untuk gotong royong (ta’awun), sehingga terpenuhi hak dan kewajiban yang telah digariskan sebagai kadar masing-masing. Selama ta’awun politik (dalam kebaikan dan taqwa) masih dipandang euphoria yang mustahil direfleksikan dalam realitas lapangan, berarti politik kita akan terus mapan di kalangan tuan-tuan kapital. Lantas rakyat (sekali lagi) hanyalah jembatan masa yang digarap untuk legitimasi suksesi kepentingan mereka. Pada kondisi genting ini, penting kita menciptakan kader siyasah (politik) yang negarawan dengan mentalitas mujaddid (reformis) untuk melakukan pembaharuan zona politik supaya kembali pada kepatutannya. Politik yang merakyat dengan tulus bukan akal-akalan bulus, politik yang santun dan berakhlak, politik berkemandirian keindonesiaan, dan politik yang theological democrasy (Istilah Mohamad Natsir: sang mositor integral NKRI).
0 on: "Kita Butuh Apa di Arena Politik Hari Ini ?"