Gambar tema oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 02 Januari 2017

Indonesia Bukan Negara Kafir

Indonesia Bukan Negara Kafir

(Prinsip Ketatanegaraan Indonesia dalam Pandangan M. Natsir)

Muhammad Natsir, pria murah senyum bergelar Datuk Sinaro Panjang ini lebih dikenal sebagai seorang pemimpin dan politisi kawakan yang jujur dan lurus. Lahir di sebuah kecil berhawa sejuk, Alahanpanjang, Solok, Sumatera Barat tanggal 17 Juli 1908. Karirnya sebagai politisi dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Ketika tahun 1950, Natsir menjabat sebagai perdana menteri Indonesia Mosi Integral-nya yang terkenal itu berhasil mengembalikan Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI sekaligus mengantarkannya duduk dikursi perdana menteri. Kala itu bentuk negara serikat rentan diobok-obok oleh Belanda yang kelihatan masih ingin menguasai Indonesia. Banyak negara bagian yang dihasut oleh Belanda untuk melakukan pembangkangan. Dengan Mosi Integral, akhirnya Natsir berhasil mengeliminasi kembalinya pihak asing mengkooprasi kedaulatan pemerintah Republik Indonesia.
Setelah menjadi perdana menteri karir politiknya banyak dihambat oleh Soekarno setelah selalu bersebrangan paham akhirnya pada tahun 1960, kurang dari satu tahun dari pembacaan Dekrit Presiden tahun 1959, partai yang pernah dipimpinnya, Masyumi dipaksa untuk membuarkan diri oleh Soekarno. Sejak saat itu, Natsir bersama politisi-politisi masyumi lain lebih banyak bergerak di belakang layar. Terlebih setelah Soeharto naik, Natsir dan kawan-kawan yang dicap sebagai "ekstrim kanan" benar-benar disingkirkan dari panggung perpolitikan Indonesia dengan berbagai cara. Natsir pun akhirnya memilih menekuni bidang dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia yang mengantarkannya menjadi Wakil Presiden Rabithah Alam Islami yang bermarkas  di Karachi sampai akhir hayatnya tahun 1993.
Bila melihat secara ringkas karir politik Natsir di atas, tentu Natsir bukan hanya sosok pilitisi biasa. Ia adalah politisi-ideolog yang sangat jarang sekali ditemukan di negeri ini. Sebagai politisi-ideolog Natsir pasti tidak berpolitik karena kepentingan pribadinya semata untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Ia berpolitik karena suatu keyakinan yang membentuknya, yaitu Islam. Dari keyakinan ini pula, ia bertindak di dunia politik berdasarkan apa yang diyakininya sebagai bagian dari ajaran islam yang dipegangnya. Pemikiran dan tindakan politiknya inilah yang menjadi bukti otentik tentang bagaimana sikapnya terhadap politik. Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan secara panjang lebar pemikiran poitik Natsir, melainkan hanya akan mengulas sepintas mengenai tata negara Islam yang dianggap oleh Natsir sebagai bagian dari ajaran dan pemikiran Islam.
***
Mengenai sikap politik Natsir yang sangat berpihak pada Islam sudah tidak perlu dijelaskan pajang lebar lagi. Natsir bisa dikatakan wujud hidup politisi Muslim yang berpijak pada ideologi yang kokoh. Natsir tidak pernah mau menggadaikan ideologi yang keberpihakannya pada Islam dengan apapun, termasuk jabatan atau harta benda. Ia lebih rela masuk penjara daripada menggadaikan idealisme dan kepercayaanya. Itulah yang dihadapinya ketika harus berhadapan dengan Sukarno setelah pembubaran Masyumi pada tahun 1960. Sukarno tidak mentolerir kepada siapa saja yan menentang gagasannya yang ingin menggabungkan kelompok nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Natsir berpendirian tegas sejak awal bahwa menggabungkan agama dan komuisme adalah hal yang mustahil. Oleh sebab itu, ia memilih untuk dipenjara  karena menolak gagasan Sukarno dan bahkan memprotesnya melalui gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Akan tetapi kekukuhan Natsir dalam memegang Islam sebagai ideologi politiknya tidak membuatnya bersikap hitam putih terahad politik. Hitam-putih disini artinya bahwa yang disebut "Politik Islam" adalah politik yang ada dalam satu "Negara Islam", "Daulah Islam", atau "Khalifah Islam". Mereka yang mengartikan politik berlandas ideologi Islam seperti itu tidak mengerjakan hal lain selain berniat untuk mendirikannya. Pada saat sama sistem dan konstelasi politik yang ada dianggap sebagai politik kafir atau minimal politik yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil yang harus dijauhi dan tidak bisa dijadikan alat politik untuk mendirikan Negara Islam impian mereka. Satu-satunya jalan, bagi kelompok ini, untuk mendirikan Negara Islam adalah melalui dakwah dan jihad. Dakwah bertujuan menyadarkan umat untuk menerima Negara Islam atau Khalifah Islam, sementara jihad adalah gerakan militer (perang) untuk merebut dan mengambil alih kekuasaan. Adalagi yang menghindari jihad, melainkan berusaha meyakinkan kekuatan politik yang ada untuk mengubah nengara dan kekuasaannya menjadi Islam.
Walaupun cara-cara di atas bisa saja dilakukan untuk mewujudkan Negara Islam, namun Natsir bukan tipikal politisi-islam seperti itu, terutama dalam konteks Indonesia. Terlebih dahulu Natsir meletakan Indonesia ini sebagai Negara yang telah diperjuangkan kelahirannya agar bebas dari kekuatan Penjajah Belanda. Perjuangan Natsir dan pejuang kemerdekaan lainnya bukan perjuangan dari titik nol. Ini adalah perjuangan yang telah berlangsung selama satu abad sebelumnya ketika Belanda berhasil menjadikan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, baik di Jawa maupun di pulau lainnya menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejarah mencatat nama-nama yang patut mendapat sanjungan sejarah karena keberanian mereka menentang kezhaliman Belanda seperti Imam Bonjol, Pangaran Diponegoro, Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Antasari, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan nama lainnya.
Kalau dilihat dari genealogi peruangan melawan Belanda yang mula-mula mewariskan perjuangan ini adalah para pejuang dari bekas-bekas kerajaan Islam. Mereka memperjuangkan satu negeri yang sebelunya telah diperintah atas nama Islam. Menjelan Belanda dating dan kemudian menguasai  wilayah ini, tidak satu pun wilayah di kepulauan ini yang tidak dikuasai atas nama kerjaan Islam. Kalau dipersentase, mungkin kurang dari lima persen saja wilayah yang dikuasai raja-raja tradisional. Barangkali yang paling mashur hanya kerajaan Batak di Sumatera Utara yang diperintah oleh raja-raja Sisingamangaraja. Itupun tidak mungkin Kerajaan Batak memiliki kekuatan besar tanpa membangun koalisi dengan kerajaan Aceh Darussalam yang tersohor amat kuat hingga sulit ditaklukan Belanda. Oleh sebab itu, yang diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan adalah mengembalikan “kerajaan-kerajaan Islam” yang sempat hilang. Memerdekakan Indonesia bukan membuat “Indonesia baru” yang ahistoris dari para pewarisnya. Indonesia yang dimerdekakan kemudian adalah tanah yang sebelumnya dimiliki kerajaan-kerajaan Aceh, Deli, Melayu, Indragiri, Palembang, Banten, Cirebon, Mataram, Banjar, Kutai, Gowa, hingga raja-raja kecil di Jazirah Maluku.
Oleh karena tanah ini adalah tanah warisan kerajaan-kerajaan Islam, maka sudah pada tempatnya bila kemudian para pejuang Islam mendesak  dalam rapat-rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan agar syariat Islam diakomodasikan secara khusus dan istimewa di dalam system ketatanegaraan Negara yang baru ini. Itulah kemudian yang sepakati saat ditaandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 19945. Ketika terjadi manipulasi politik dengan digagalkannya Piagam Jakarta melalui kesepakatan semu 18 Agustus 1945, para pejuang dari kalangan Islam tidak patah arah sampai disitu. Perjuangan untuk memelihara warisan kerajaan-kerajaan Islam terus dilanjutkan. Kompromi politik tercapai dengan tetap mempertahankan Negara ini tidak menjadi sekuler, walaupun dipimpim oleh Sukarno yang sangat pro terhadap gerakan Musthafa Kemal di Turki yang melakukan sekulerisasi seutuhnya. Sila pertama Pancasila menjadi monument tetap bertahannya Indonesia dalam kendali agama. Setelah itu, kompensasi politik berupa dibentuknya departemen agama tidak bisa ditolak oleh semua pihak. Dalam rumus Negara sekuler manapun tidak mungkin agama masuk menjadi bagian dari urusan public. Ia tetap menjadi urusan privat yang tidak perlu secara langsung diurusi oleh Negara. Ketika ada kesempatan untuk merancang  kembali konstitusi antara tahun 1956-1959, para pejuang Kemerdekaan dikalangan Islam ini kembali mengusulkan sekuat tenaga agar Islam menjadi dasar Negara bagi Negara baru ini. Walaupun akhirnya mereka gagal karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun apa yang mereka perjuangkan memperlihatkan kesadaran penuh bahwa mereka tengah memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka sebagai pewaris raja-raja Muslim di seluruh tanah air, bukan sebagai pewaris Belanda yang kafir dan menularkan penyakit sekularisme ke dalam tubuh rakyat Indonesia.
Kesadaran seperti inilah yang telah lebih dahulu dipegang oleh Natsir ketika meletakan Negara baru bernama Indonesia ada pada posisi apa. Bagi Natsir, Negara ini sama sekali bukan Negara kafir. Negara ini adalah pewaris kerajaan-kerajaan Islam yang secara de facto menjadi bagian dari wilayah geografis Negara Indonesia yang secara nekad diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Negara ini adalah Negara Islam atau setidaknya Negara milik umat Islam. Pancasila yang pada akhirnnya menjaadi dasar Negara pun bukan cerminan kekafiran atau hanya sekedar kesekuleran. Justru Pancasila memperlihatkan bahwa Islam masih sangat bercokol dalam ideologi bangsa ini. Disepakatinya Pancasila menjadi bukti otentik bahwa Negara ini masih berada pada pangkuan Islam. Tidak menngherankan bila dengan sangat meyakinkan Natsir menulis artikel barjudul “Pancasila Akan Layu Bila Diserahkan Pada PKI”. Artikel ini ditulis saat ia melihat kesewenang-wenangan Sukarno ingin memasukan PKI dan ideologi komunisme yang anti-agama menjadi bagian dari Negara ini melalui jargon Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom) yang digembar-gembornya saat setelah Dekrit 5 Juli 1959. Sebetulnya hal yang sama juga diyakini Natsir, yaitu apabila Pancasila disrahkan pada orang-orang sekuler yang anti-agama atau apatis terhadap agama.
Natsir amat sadar bahwa saat Negara ini merdeka, ada tantangan ideologi baru yang mengancam Negara, yaitu sekulerisme dan komunisme. Kedua ideologi ini hendak megansam Pancasila yang jelas-jelas pro-agama. Sebagai pengusung kedua idelogi asing ini ada juga yang berhasil masuk ke dalam kekuasaan; bahkan menduduki jabatan-jabatan tinggi dan strategis di Negara baru ini. Akan tetapi, walaupun orang-orang sekuler ini berada dalam kekuasaan dan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah wajah Negara ini sesuai dengan ideology mereka, namun tidak serta merta membuat status negeri ini menjadi “Negara Kafir”. Negara ini tetap warisan kerjaan-kerajaan Islam, walaupun kini dihadapkan pada ancaman akan disekulerkan dan dikomuniskan. Inilah yang dihadapi oleh pejuang Islam selepas kemerdekaan: tetap mempertahankan Islam di Negara warisan raja-raja Muslim ini.
Oleh sebab Negara ini sejak semula merupakan Negara Islam yang dihuni oleh mayoritas muslim, maka Natsir berada pada pihak yang tidak setuju ketika Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) tahun 1949 di Garut. Ia menilai bahwa apa yang dilakukan Karto---terlepas dari hak nya untuk melakukan ijtihad dan gerakan politik---tidak produktif untuk perjuangan Islam. Konon NII ini didirikan karena kekecewaan pada perjanjian Renville yang menyerahkan sebagian besar wilayah RI ini kepada Belanda, termasuk Priangan Timur yang akhirnya diklaim oleh Kartosuwiryo untuk NII-nya itu. Natsir melalui juru rundingnya dari Masyumi, Mohammad Roem, membuktikan bahwa kekhawatiran itu berlebihan. Bahkan , Natsir melalui “Mosi Integral”-nya di Parlemen saat ia menjabat Ketua Umum Partai Masyumi berhasil mempersatukan wilayah yang tercerai-barai melalui RIS (Republik Indonesia Serikat) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950. Atas pembuktiannya, seharusnya Karto mauberkompromi dengan Natsir dan Masyumi dan kembali sama-sama mempertahankan Negara baru ini agar tetap ada dalam pangkuan Islam. Sayang sekali, Karto tidak bersedia untuk bernegosiasi dan memilih untuk melanjutkan perjuangannya mendirikan NII. Perang pun tidak dapat dihindari. Dua belas tahun sejak 1950 hingga 1962, Karto yang membangun Tentara Islam Indonesia (TII) harus berhadapan dengan saudara sendiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Musim politik sudah berganti bagi Natsir. Kini  ia pun harus menjadi seteru politik Sukarno yang berada si kubu sekuler, sekalipun Sukarno tidak pernah mengakui posisi sekulernya itu. Natsir harus mengakui kepiawaian Sukarno dalam berpolitik. Tahun 1960, partai Masyumi daibubarkan. Para aktivisnya, termasuk Natsir tidak boleh lagi berpolitik. Sebagian besar dipenjarakan karena dianggap “kontra-Revolusi”. Bahkan ketika Sukarno tumbang di tangan Suharto pun, kebebasan berpolitik Natsir dan kawan-kawan belum pulih. Akhirnya, Natsir menempuh jalan lain untuk menuju kepada politik, yaitu melalui dakwah. “Dulu kita berdakwah melalui politik; sekarang kita berpolitik melalui dakwah,” begitu kira-kira  pesan Natsir ketika mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Dalam posisi itupun, sikap Natsir terhadap Negara ini tidak berubah. Ia tetap menganggap Negara ini sebagai warisan para raja Muslim; Negara ini bukan Negara kafir. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak berniat untuk mendirikan Negara baru atau menggantikan Negara ini dengan nomenklatur yang lain. Tidak juga terbesit dalam pikirannya untuk mendirikan Negara Islam (Daulah Islam) di Indonesia ini. Ia tetap menganggap Negara ini sebagai bukan Negara Kafir! Walaupun kali ini, ia harus mengakui kekalahannya dalam politik praktis. Akan tetapi, ia masih sangat leluasa dalam mempersiapkan generasi-generasi berikutnya untuk melanjutkan estafeta perjuangan dalam memelihara Negara ini tetap dalam pangkuan Islam; agama induk dari negeri ini.
***
Berdasarkan pengakuan bahwa Indonesia bukan Negara kafir inilah Natsir memiliki pijakan kokoh untuk mendorong terlaksananya prinsip-prinsip ketatanegaraan Islam di bumi Indonesia warisan para Wali ini. Lalu bagaimana pemikirannya tentang ketatanegaraan Islam yang diinginkan bagi Indonesia? Inilah pertanyaan berikut yang akan coba kita telusuri jawabannya dari beberapa tulisan dan kejadian sejarah yang dialami Natsir.
Pemikiran Natsir tentang ketatanegaraan lebih banyak dipraktikan daripada dituliskan, karena dalam hal ini ia adalah seorang praktisi yang terjun langsung mewujudkan system ketatanegaraan Indonesia semenjak ia duduk menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) atau semacam DPR sekarang, tiga kali menjadi menteri penerangan, menjadi perdana menteri, hingga ikut dalam perdebatan-perdebatan Konstituente (1956-1959) sebagai wakil dari Masyumi. Walau pun begitu, apa yang dilakukan Natsir selama ia aktif di parlemen dan pemerintahan Republik Indonesia secara pemikiran memiliki pijakan yang kuat dari tradisi pemikiran Islam tentang politik dan pemerintahan. Pemikiran pokoknya tentang sistem ketatanegaraan dalam islam tertuang dalam salah satu artikelnya berjudul “Mungkinkah Al-Qur’an Mengatur Negara.” Artikel ini kemudian diterbitkan ulang oleh Endang Saefudin Anshari dalam satu kumpulan tulisannya khusus tentang politik berjudul Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (2001).
Dalam tulisannya ini, Natsir berkesimpulan bahwa mengenai masalah politik, Islam tidak mengatur sampai kepada masalah-masalah yang detail dalam sistem ketatanegaraan. Islam hanya mengatur masalah-masalah pokok dalam politik yang tidak boleh berubah sepanjang masa. Diantara masalah-masalah pokok itu adalah pertama, kriteria pemimpin. Didalam Al-Quran maupun hadis banyak sekali dijelaskan tentang kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang hendak memikul amanah umat. Seorang pemimpin haruslah orang yang beriman, jauh dari maksiat, berakhlak baik, dan memiliki kecakapan memadai untukmenjalankan tugas-tugasnya. Kriteria umum ini ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis untuk menjadi pegangan sepanjang masa bagi manusia. Kriteria teknisnya dapat dirumuskan oleh manusia. Hanya saja, kriteria umum di atas tidak boleh berubah untuk menjamin kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.
Pokok ajaran islam yang kedua dalam hal politik adalah keharusan pengambilan keputusan melalui “musyawarah”. Perintah ini termaktub dalam Al-Quran, hadis Nabi, dan praktik kekuasaan Khulafaur-rasyidin. Musyawarah digunakan untuk mengambil keputusan yang belum secara tegas diatur dalam Al-Quran maupun sunnah. Musyawarah dilakukan bersama dengan ahli-ahlinya. Adapun bagaimana teknis musyawarah itu dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada kreativitas kaum Muslim.
Ketiga, di dalam Islam ditetapkan hak dan kewajiban apa yang dipikul oleh pimpinan dan yang dipimpinnya sekaligus secara garis besar. Misalnya, pimpinan wajib menjalankan amanah sedangkan yang dipimpin wajib taat kepada pemimpin selama memerintahkan hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Pemimpin berhak mendapatkan fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya selama bekerja atau keluarganya, sementara yang dipimpin berhak meluruskan pemimpin apabila berada dijalur yang salah sebagai bagian dari amar ma’ruf dan nahyi munkar. Sebagai hak dan kewajiban lain yang sifatnya mendasar sitetapkan dalam Al-Quran dan hadis.
Keempat, Islam uga mengharuskan kekuatan politik Islam untuk menetapkan hokum dasar dalam bermasyarakat sesuai yang ditetapkan Al-Quran dan sunnah. Sebab, dalam perkara hukum dan perundangan, Islam mengatur hukum yang tidak berubah mengikuti perubahan zaman seperti hokum yang berkaitan dengan kriminalitas antara lain: pembunuhan, perzinaan, dan pencurian. Terhadap masalah-masalah seperti ini terdapat aturan yang qoth’I di dalam Islam yang tidak boleh diubah-ubah di zaman manapun sehingga Negara harus pula menjadikannya sebagai hokum dasar. Aturan-aturan bermasyarakat lainyang juga qoth’I seperti zakat, wakaf, nikah, talak, cerai, rujuk, waris, wasiat, larangan riba, etika jual-beli, dan semisalnya yang tegas-tegas diatur dalam Al-Quran dan Sunnah juga harus diakomodasikan oleh Negara Islam.
Itulah aturan-aturan pokok dalam penyelenggaraan Negara menurut Islam. Sisanya yang tidak diatur Al-Quran dan Sunnah secara tegas diserahkan kepada manusia untuk menentukannya. Manusia dipersilahkan untuk memusyawarahkannya berdasarkan prinsip kemaslahatan umat. Dalam konteks ini pula Natsir menyetujui istilah “Demokrasi”. Ia sama sekali tidak setuju demorasi yang dimaksud adalah demokrasi sekuler yang boleh membuat aturan-aturan baru yang bertentangan dengan Al-Quran. Demokrasi hanya boleh membicarakan masalah-masalah yang tidak secara qoth’I diatur oleh Al-Quran dan Sunnah. Ini berarti natsir menolak filsafat dasar demokrasi yang menempatkan manusia (suara rakyat) sebagai penentu utama kekuasaan politik. Demokrasi semacam ini dinilainya sebagai demokrasi sekuler yang akan banyak bertentangan dengan hokum-hukum atau aturan-aturan Islam.
Pemikiran pokok tentang politik ini hampir sama degan semua pemikir Islam lainnya saat itu seperti A. Hasan, H. Agus Salim, Prof. Kahar Mudzakir, Hasbi Ash-Shiddiqy, dan yang lainnya. Khusus mengenai pemikiran Natsir ini, saat ia menjabat ketua umum Masyumi antara tahun 1952-1960, ia sempat meminta kepada Prof. Ahmad Syalabi untuk menuliskan tentang pokok-pokok pikiran tentang Negara dan politik di dalam Islam secara lebih rinci dan sistematis. Ahmad Syalabi, intelektual Mesir yang saat itu tengah menjadi visiting professor di beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta dan Jogja atas perminaan departemen agama menyanggupinya. Ia kemudian menuliskan pemikiran politik yang inti pemikirannya sejalan dengan Natsir dan politik Islam lainnya dalam As-Siyasah fi Al-Fikr Al-Islamy.
***
Pemikiran-pemikiran Natsir tentang tata Negara inilah yang kmudian ia praktikan saat ia menjadi politisi. Akan tetapi pada saat yang sama ia harus berhapan dengan kelompok-kelompok sekuler yang juga ingin memaksakan ideology mereka. Bagi kelompok sekuler pemikiran politik yang mereka usulkan semata-mata datang dari pemikiran dan falsafah Barat tentang masalah ini. Mereka mempromosikan demokrasi, namun bukan demokrasi terbatas seperti yang dipikirkan Natsir. Demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang berdasar pada falsafah asalnya dari Yunani yang dalam konteks modern diasaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (human right) yang menjamin sepenuhnya kebebasan manusia. Demokrasi semacam ini adalah demokrasi liberal sebagaimana yang dikenal dan dipraktikan di Barat.

Dalam politik Indonesia, itulah tantangan paling berat yang dihadapi Natsir. Ia tahu bahwa ini adalah ancaman yang serius bagi politik Islam. Sebagian pemikiran politik sekuler ini ada yang berhasil disusupkan dalam system ketatanegaraan dan system perundangan di negeri ini. Bertahannya KUHP model Belanda hingga saat ini menjadi salah satu contoh tantangan nyata bagi politik Islam yang menghendaki masalah-masalah pidana yang banyak aturannya dalam Al-Quran dan Sunnah dilandaskan pada Islam, bukan pikiran liberal Belanda. Jelas ini kekalahan poitik di Indonesia. Walaupun begitu, Natsir tidak serta merta setuju bahwa Negara ini telah berubah menjadi Negara “Kafir” gara-gara kemenangan kelompok sekuler dalam beberapa hal. Sepanjang dasar Negara ini Pancasila yang masih memperlihatkan keberpihakannya pada Islam, Negara ini masih belum bisa dikatakan Negara Kafir. Aturan yang sekuler hanyalah pertanda kekalahan gerakan politik islam yang harus menjadi catatan umat Islam dan gerakan politik Islam sejati. Menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara radikal untuk diganti-misalnya-dengan Daulah Islam, Negara Islam Indonesia, atau label apasaja yang barbau “Islam” bisa jadi bukan merupakan solusi kemenangan politik Islam. Sebab, sejak kemerdekaanya Indonesia telah diperjuangkan untuk menjadi Negara berbasis Islam. Sebagai hasilnya sudah jelas terlihat. Hanya perlu waktu untuk menyempurnakan kemenangan Islam. Hanya perlu waktu untuk menguji kesungguhan dan kerja keras umat Islam dalam mewujudkan cita-citanya. Wallahu A’lam. 

0 on: "Indonesia Bukan Negara Kafir"