Indonesia Bukan Negara Kafir
(Prinsip Ketatanegaraan Indonesia dalam Pandangan M. Natsir)
Muhammad Natsir, pria murah senyum bergelar Datuk Sinaro
Panjang ini lebih dikenal sebagai seorang pemimpin dan politisi kawakan yang
jujur dan lurus. Lahir di sebuah kecil berhawa sejuk, Alahanpanjang, Solok,
Sumatera Barat tanggal 17 Juli 1908. Karirnya sebagai politisi dicatat dengan
tinta emas dalam sejarah. Ketika tahun 1950, Natsir menjabat sebagai perdana
menteri Indonesia Mosi Integral-nya yang terkenal itu berhasil mengembalikan
Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI sekaligus mengantarkannya duduk dikursi
perdana menteri. Kala itu bentuk negara serikat rentan diobok-obok oleh Belanda yang kelihatan masih ingin
menguasai Indonesia. Banyak negara bagian yang dihasut oleh Belanda untuk
melakukan pembangkangan. Dengan Mosi Integral, akhirnya Natsir berhasil
mengeliminasi kembalinya pihak asing mengkooprasi kedaulatan pemerintah
Republik Indonesia.
Setelah
menjadi perdana menteri karir politiknya banyak dihambat oleh Soekarno setelah
selalu bersebrangan paham akhirnya pada tahun 1960, kurang dari satu tahun dari
pembacaan Dekrit Presiden tahun 1959, partai yang pernah dipimpinnya, Masyumi
dipaksa untuk membuarkan diri oleh Soekarno. Sejak saat itu, Natsir bersama
politisi-politisi masyumi lain lebih banyak bergerak di belakang layar.
Terlebih setelah Soeharto naik, Natsir dan kawan-kawan yang dicap sebagai
"ekstrim kanan" benar-benar disingkirkan dari panggung perpolitikan
Indonesia dengan berbagai cara. Natsir pun akhirnya memilih menekuni bidang
dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia yang mengantarkannya
menjadi Wakil Presiden Rabithah Alam Islami yang bermarkas di Karachi sampai akhir hayatnya tahun 1993.
Bila
melihat secara ringkas karir politik Natsir di atas, tentu Natsir bukan hanya
sosok pilitisi biasa. Ia adalah politisi-ideolog yang sangat jarang sekali
ditemukan di negeri ini. Sebagai politisi-ideolog Natsir pasti tidak berpolitik
karena kepentingan pribadinya semata untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Ia
berpolitik karena suatu keyakinan yang membentuknya, yaitu Islam. Dari
keyakinan ini pula, ia bertindak di dunia politik berdasarkan apa yang
diyakininya sebagai bagian dari ajaran islam yang dipegangnya. Pemikiran dan
tindakan politiknya inilah yang menjadi bukti otentik tentang bagaimana
sikapnya terhadap politik. Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan secara
panjang lebar pemikiran poitik Natsir, melainkan hanya akan mengulas sepintas
mengenai tata negara Islam yang dianggap oleh Natsir sebagai bagian dari ajaran
dan pemikiran Islam.
***
Mengenai
sikap politik Natsir yang sangat berpihak pada Islam sudah tidak perlu
dijelaskan pajang lebar lagi. Natsir bisa dikatakan wujud hidup politisi Muslim
yang berpijak pada ideologi yang kokoh. Natsir tidak pernah mau menggadaikan
ideologi yang keberpihakannya pada Islam dengan apapun, termasuk jabatan atau
harta benda. Ia lebih rela masuk penjara daripada menggadaikan idealisme dan
kepercayaanya. Itulah yang dihadapinya ketika harus berhadapan dengan Sukarno
setelah pembubaran Masyumi pada tahun 1960. Sukarno tidak mentolerir kepada
siapa saja yan menentang gagasannya yang ingin menggabungkan kelompok
nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Natsir berpendirian tegas sejak awal
bahwa menggabungkan agama dan komuisme adalah hal yang mustahil. Oleh sebab
itu, ia memilih untuk dipenjara karena
menolak gagasan Sukarno dan bahkan memprotesnya melalui gerakan PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Akan
tetapi kekukuhan Natsir dalam memegang Islam sebagai ideologi politiknya tidak
membuatnya bersikap hitam putih terahad politik. Hitam-putih disini artinya
bahwa yang disebut "Politik Islam" adalah politik yang ada dalam satu
"Negara Islam", "Daulah Islam", atau "Khalifah
Islam". Mereka yang mengartikan politik berlandas ideologi Islam seperti
itu tidak mengerjakan hal lain selain berniat untuk mendirikannya. Pada saat
sama sistem dan konstelasi politik yang ada dianggap sebagai politik kafir atau
minimal politik yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil yang
harus dijauhi dan tidak bisa dijadikan alat politik untuk mendirikan Negara
Islam impian mereka. Satu-satunya jalan, bagi kelompok ini, untuk mendirikan
Negara Islam adalah melalui dakwah dan jihad. Dakwah bertujuan menyadarkan umat
untuk menerima Negara Islam atau Khalifah Islam, sementara jihad adalah gerakan
militer (perang) untuk merebut dan mengambil alih kekuasaan. Adalagi yang
menghindari jihad, melainkan berusaha meyakinkan kekuatan politik yang ada
untuk mengubah nengara dan kekuasaannya menjadi Islam.
Walaupun
cara-cara di atas bisa saja dilakukan untuk mewujudkan Negara Islam, namun
Natsir bukan tipikal politisi-islam seperti itu, terutama dalam konteks
Indonesia. Terlebih dahulu Natsir meletakan Indonesia ini sebagai Negara yang
telah diperjuangkan kelahirannya agar bebas dari kekuatan Penjajah Belanda.
Perjuangan Natsir dan pejuang kemerdekaan lainnya bukan perjuangan dari titik
nol. Ini adalah perjuangan yang telah berlangsung selama satu abad sebelumnya
ketika Belanda berhasil menjadikan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan
Islam, baik di Jawa maupun di pulau lainnya menjadi bagian dari pemerintahan
Hindia Belanda. Sejarah mencatat nama-nama yang patut mendapat sanjungan
sejarah karena keberanian mereka menentang kezhaliman Belanda seperti Imam
Bonjol, Pangaran Diponegoro, Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Antasari, Teuku
Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan nama lainnya.
Kalau
dilihat dari genealogi peruangan melawan Belanda yang mula-mula mewariskan
perjuangan ini adalah para pejuang dari bekas-bekas kerajaan Islam. Mereka
memperjuangkan satu negeri yang sebelunya telah diperintah atas nama Islam.
Menjelan Belanda dating dan kemudian menguasai
wilayah ini, tidak satu pun wilayah di kepulauan ini yang tidak dikuasai
atas nama kerjaan Islam. Kalau dipersentase, mungkin kurang dari lima persen
saja wilayah yang dikuasai raja-raja tradisional. Barangkali yang paling mashur
hanya kerajaan Batak di Sumatera Utara yang diperintah oleh raja-raja
Sisingamangaraja. Itupun tidak mungkin Kerajaan Batak memiliki kekuatan besar
tanpa membangun koalisi dengan kerajaan Aceh Darussalam yang tersohor amat kuat
hingga sulit ditaklukan Belanda. Oleh sebab itu, yang diperjuangkan oleh para
pejuang kemerdekaan adalah mengembalikan “kerajaan-kerajaan Islam” yang sempat
hilang. Memerdekakan Indonesia bukan membuat “Indonesia baru” yang ahistoris
dari para pewarisnya. Indonesia yang dimerdekakan kemudian adalah tanah yang
sebelumnya dimiliki kerajaan-kerajaan Aceh, Deli, Melayu, Indragiri, Palembang,
Banten, Cirebon, Mataram, Banjar, Kutai, Gowa, hingga raja-raja kecil di
Jazirah Maluku.
Oleh
karena tanah ini adalah tanah warisan kerajaan-kerajaan Islam, maka sudah pada
tempatnya bila kemudian para pejuang Islam mendesak dalam rapat-rapat BPUPKI menjelang
kemerdekaan agar syariat Islam diakomodasikan secara khusus dan istimewa di
dalam system ketatanegaraan Negara yang baru ini. Itulah kemudian yang sepakati
saat ditaandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 19945. Ketika terjadi manipulasi
politik dengan digagalkannya Piagam Jakarta melalui kesepakatan semu 18 Agustus
1945, para pejuang dari kalangan Islam tidak patah arah sampai disitu.
Perjuangan untuk memelihara warisan kerajaan-kerajaan Islam terus dilanjutkan.
Kompromi politik tercapai dengan tetap mempertahankan Negara ini tidak menjadi
sekuler, walaupun dipimpim oleh Sukarno yang sangat pro terhadap gerakan
Musthafa Kemal di Turki yang melakukan sekulerisasi seutuhnya. Sila pertama
Pancasila menjadi monument tetap bertahannya Indonesia dalam kendali agama.
Setelah itu, kompensasi politik berupa dibentuknya departemen agama tidak bisa
ditolak oleh semua pihak. Dalam rumus Negara sekuler manapun tidak mungkin
agama masuk menjadi bagian dari urusan public. Ia tetap menjadi urusan privat
yang tidak perlu secara langsung diurusi oleh Negara. Ketika ada kesempatan
untuk merancang kembali konstitusi
antara tahun 1956-1959, para pejuang Kemerdekaan dikalangan Islam ini kembali
mengusulkan sekuat tenaga agar Islam menjadi dasar Negara bagi Negara baru ini.
Walaupun akhirnya mereka gagal karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun apa
yang mereka perjuangkan memperlihatkan kesadaran penuh bahwa mereka tengah
memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka sebagai pewaris raja-raja Muslim di
seluruh tanah air, bukan sebagai pewaris Belanda yang kafir dan menularkan
penyakit sekularisme ke dalam tubuh rakyat Indonesia.
Kesadaran
seperti inilah yang telah lebih dahulu dipegang oleh Natsir ketika meletakan
Negara baru bernama Indonesia ada pada posisi apa. Bagi Natsir, Negara ini sama
sekali bukan Negara kafir. Negara ini adalah pewaris kerajaan-kerajaan Islam
yang secara de facto menjadi bagian
dari wilayah geografis Negara Indonesia yang secara nekad diproklamasikan pada
17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Negara ini adalah Negara Islam atau setidaknya
Negara milik umat Islam. Pancasila yang pada akhirnnya menjaadi dasar Negara
pun bukan cerminan kekafiran atau hanya sekedar kesekuleran. Justru Pancasila
memperlihatkan bahwa Islam masih sangat bercokol dalam ideologi bangsa ini.
Disepakatinya Pancasila menjadi bukti otentik bahwa Negara ini masih berada
pada pangkuan Islam. Tidak menngherankan bila dengan sangat meyakinkan Natsir
menulis artikel barjudul “Pancasila Akan Layu Bila Diserahkan Pada PKI”.
Artikel ini ditulis saat ia melihat kesewenang-wenangan Sukarno ingin memasukan
PKI dan ideologi komunisme yang anti-agama menjadi bagian dari Negara ini
melalui jargon Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom) yang digembar-gembornya
saat setelah Dekrit 5 Juli 1959. Sebetulnya hal yang sama juga diyakini Natsir,
yaitu apabila Pancasila disrahkan pada orang-orang sekuler yang anti-agama atau
apatis terhadap agama.
Natsir
amat sadar bahwa saat Negara ini merdeka, ada tantangan ideologi baru yang
mengancam Negara, yaitu sekulerisme dan komunisme. Kedua ideologi ini hendak
megansam Pancasila yang jelas-jelas pro-agama. Sebagai pengusung kedua idelogi
asing ini ada juga yang berhasil masuk ke dalam kekuasaan; bahkan menduduki
jabatan-jabatan tinggi dan strategis di Negara baru ini. Akan tetapi, walaupun
orang-orang sekuler ini berada dalam kekuasaan dan berusaha sekuat tenaga untuk
mengubah wajah Negara ini sesuai dengan ideology mereka, namun tidak serta
merta membuat status negeri ini menjadi “Negara Kafir”. Negara ini tetap
warisan kerjaan-kerajaan Islam, walaupun kini dihadapkan pada ancaman akan
disekulerkan dan dikomuniskan. Inilah yang dihadapi oleh pejuang Islam selepas
kemerdekaan: tetap mempertahankan Islam di Negara warisan raja-raja Muslim ini.
Oleh
sebab Negara ini sejak semula merupakan Negara Islam yang dihuni oleh mayoritas
muslim, maka Natsir berada pada pihak yang tidak setuju ketika Kartosuwiryo memproklamasikan
Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) tahun 1949 di Garut. Ia
menilai bahwa apa yang dilakukan Karto---terlepas dari hak nya untuk melakukan
ijtihad dan gerakan politik---tidak produktif untuk perjuangan Islam. Konon NII
ini didirikan karena kekecewaan pada perjanjian Renville yang menyerahkan
sebagian besar wilayah RI ini kepada Belanda, termasuk Priangan Timur yang
akhirnya diklaim oleh Kartosuwiryo untuk NII-nya itu. Natsir melalui juru
rundingnya dari Masyumi, Mohammad Roem, membuktikan bahwa kekhawatiran itu
berlebihan. Bahkan , Natsir melalui “Mosi Integral”-nya di Parlemen saat ia
menjabat Ketua Umum Partai Masyumi berhasil mempersatukan wilayah yang
tercerai-barai melalui RIS (Republik Indonesia Serikat) menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950. Atas pembuktiannya, seharusnya Karto
mauberkompromi dengan Natsir dan Masyumi dan kembali sama-sama mempertahankan
Negara baru ini agar tetap ada dalam pangkuan Islam. Sayang sekali, Karto tidak
bersedia untuk bernegosiasi dan memilih untuk melanjutkan perjuangannya
mendirikan NII. Perang pun tidak dapat dihindari. Dua belas tahun sejak 1950
hingga 1962, Karto yang membangun Tentara Islam Indonesia (TII) harus
berhadapan dengan saudara sendiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Musim
politik sudah berganti bagi Natsir. Kini
ia pun harus menjadi seteru politik Sukarno yang berada si kubu sekuler,
sekalipun Sukarno tidak pernah mengakui posisi sekulernya itu. Natsir harus
mengakui kepiawaian Sukarno dalam berpolitik. Tahun 1960, partai Masyumi
daibubarkan. Para aktivisnya, termasuk Natsir tidak boleh lagi berpolitik.
Sebagian besar dipenjarakan karena dianggap “kontra-Revolusi”. Bahkan ketika
Sukarno tumbang di tangan Suharto pun, kebebasan berpolitik Natsir dan
kawan-kawan belum pulih. Akhirnya, Natsir menempuh jalan lain untuk menuju kepada
politik, yaitu melalui dakwah. “Dulu kita berdakwah melalui politik; sekarang
kita berpolitik melalui dakwah,” begitu kira-kira pesan Natsir ketika mendirikan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Dalam posisi itupun, sikap Natsir terhadap
Negara ini tidak berubah. Ia tetap menganggap Negara ini sebagai warisan para
raja Muslim; Negara ini bukan Negara kafir. Oleh sebab itu, ia sama sekali
tidak berniat untuk mendirikan Negara baru atau menggantikan Negara ini dengan
nomenklatur yang lain. Tidak juga terbesit dalam pikirannya untuk mendirikan
Negara Islam (Daulah Islam) di Indonesia ini. Ia tetap menganggap Negara ini
sebagai bukan Negara Kafir! Walaupun kali ini, ia harus mengakui kekalahannya
dalam politik praktis. Akan tetapi, ia masih sangat leluasa dalam mempersiapkan
generasi-generasi berikutnya untuk melanjutkan estafeta perjuangan dalam
memelihara Negara ini tetap dalam pangkuan Islam; agama induk dari negeri ini.
***
Berdasarkan
pengakuan bahwa Indonesia bukan Negara kafir inilah Natsir memiliki pijakan
kokoh untuk mendorong terlaksananya prinsip-prinsip ketatanegaraan Islam di
bumi Indonesia warisan para Wali ini. Lalu bagaimana pemikirannya tentang
ketatanegaraan Islam yang diinginkan bagi Indonesia? Inilah pertanyaan berikut
yang akan coba kita telusuri jawabannya dari beberapa tulisan dan kejadian
sejarah yang dialami Natsir.
Pemikiran
Natsir tentang ketatanegaraan lebih banyak dipraktikan daripada dituliskan,
karena dalam hal ini ia adalah seorang praktisi yang terjun langsung mewujudkan
system ketatanegaraan Indonesia semenjak ia duduk menjadi anggota KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat) atau semacam DPR sekarang, tiga kali menjadi menteri
penerangan, menjadi perdana menteri, hingga ikut dalam perdebatan-perdebatan
Konstituente (1956-1959) sebagai wakil dari Masyumi. Walau pun begitu, apa yang
dilakukan Natsir selama ia aktif di parlemen dan pemerintahan Republik
Indonesia secara pemikiran memiliki pijakan yang kuat dari tradisi pemikiran
Islam tentang politik dan pemerintahan. Pemikiran pokoknya tentang sistem
ketatanegaraan dalam islam tertuang dalam salah satu artikelnya berjudul
“Mungkinkah Al-Qur’an Mengatur Negara.” Artikel ini kemudian diterbitkan ulang
oleh Endang Saefudin Anshari dalam satu kumpulan tulisannya khusus tentang
politik berjudul Agama dan Negara dalam
Perspektif Islam (2001).
Dalam
tulisannya ini, Natsir berkesimpulan bahwa mengenai masalah politik, Islam
tidak mengatur sampai kepada masalah-masalah yang detail dalam sistem
ketatanegaraan. Islam hanya mengatur masalah-masalah pokok dalam politik yang
tidak boleh berubah sepanjang masa. Diantara masalah-masalah pokok itu adalah pertama, kriteria pemimpin. Didalam
Al-Quran maupun hadis banyak sekali dijelaskan tentang kriteria yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin yang hendak memikul amanah umat. Seorang
pemimpin haruslah orang yang beriman, jauh dari maksiat, berakhlak baik, dan
memiliki kecakapan memadai untukmenjalankan tugas-tugasnya. Kriteria umum ini
ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis untuk menjadi pegangan sepanjang masa bagi
manusia. Kriteria teknisnya dapat dirumuskan oleh manusia. Hanya saja, kriteria
umum di atas tidak boleh berubah untuk menjamin kemaslahatan umat manusia di
dunia dan akhirat.
Pokok
ajaran islam yang kedua dalam hal
politik adalah keharusan pengambilan keputusan melalui “musyawarah”. Perintah
ini termaktub dalam Al-Quran, hadis Nabi, dan praktik kekuasaan
Khulafaur-rasyidin. Musyawarah digunakan untuk mengambil keputusan yang belum
secara tegas diatur dalam Al-Quran maupun sunnah. Musyawarah dilakukan bersama
dengan ahli-ahlinya. Adapun bagaimana teknis musyawarah itu dilakukan
diserahkan sepenuhnya kepada kreativitas kaum Muslim.
Ketiga, di dalam Islam ditetapkan hak dan kewajiban apa yang dipikul oleh
pimpinan dan yang dipimpinnya sekaligus secara garis besar. Misalnya, pimpinan
wajib menjalankan amanah sedangkan yang dipimpin wajib taat kepada pemimpin
selama memerintahkan hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Pemimpin
berhak mendapatkan fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya selama bekerja atau
keluarganya, sementara yang dipimpin berhak meluruskan pemimpin apabila berada
dijalur yang salah sebagai bagian dari amar
ma’ruf dan nahyi munkar. Sebagai
hak dan kewajiban lain yang sifatnya mendasar sitetapkan dalam Al-Quran dan hadis.
Keempat, Islam uga mengharuskan kekuatan politik Islam untuk menetapkan hokum
dasar dalam bermasyarakat sesuai yang ditetapkan Al-Quran dan sunnah. Sebab,
dalam perkara hukum dan perundangan, Islam mengatur hukum yang tidak berubah
mengikuti perubahan zaman seperti hokum yang berkaitan dengan kriminalitas
antara lain: pembunuhan, perzinaan, dan pencurian. Terhadap masalah-masalah
seperti ini terdapat aturan yang qoth’I di
dalam Islam yang tidak boleh diubah-ubah di zaman manapun sehingga Negara harus
pula menjadikannya sebagai hokum dasar. Aturan-aturan bermasyarakat lainyang
juga qoth’I seperti zakat, wakaf,
nikah, talak, cerai, rujuk, waris, wasiat, larangan riba, etika jual-beli, dan
semisalnya yang tegas-tegas diatur dalam Al-Quran dan Sunnah juga harus
diakomodasikan oleh Negara Islam.
Itulah
aturan-aturan pokok dalam penyelenggaraan Negara menurut Islam. Sisanya yang
tidak diatur Al-Quran dan Sunnah secara tegas diserahkan kepada manusia untuk
menentukannya. Manusia dipersilahkan untuk memusyawarahkannya berdasarkan
prinsip kemaslahatan umat. Dalam konteks ini pula Natsir menyetujui istilah
“Demokrasi”. Ia sama sekali tidak setuju demorasi yang dimaksud adalah
demokrasi sekuler yang boleh membuat aturan-aturan baru yang bertentangan
dengan Al-Quran. Demokrasi hanya boleh membicarakan masalah-masalah yang tidak
secara qoth’I diatur oleh Al-Quran
dan Sunnah. Ini berarti natsir menolak filsafat dasar demokrasi yang
menempatkan manusia (suara rakyat) sebagai penentu utama kekuasaan politik.
Demokrasi semacam ini dinilainya sebagai demokrasi sekuler yang akan banyak
bertentangan dengan hokum-hukum atau aturan-aturan Islam.
Pemikiran
pokok tentang politik ini hampir sama degan semua pemikir Islam lainnya saat
itu seperti A. Hasan, H. Agus Salim, Prof. Kahar Mudzakir, Hasbi Ash-Shiddiqy,
dan yang lainnya. Khusus mengenai pemikiran Natsir ini, saat ia menjabat ketua
umum Masyumi antara tahun 1952-1960, ia sempat meminta kepada Prof. Ahmad
Syalabi untuk menuliskan tentang pokok-pokok pikiran tentang Negara dan politik
di dalam Islam secara lebih rinci dan sistematis. Ahmad Syalabi, intelektual
Mesir yang saat itu tengah menjadi visiting
professor di beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta dan Jogja atas
perminaan departemen agama menyanggupinya. Ia kemudian menuliskan pemikiran
politik yang inti pemikirannya sejalan dengan Natsir dan politik Islam lainnya
dalam As-Siyasah fi Al-Fikr Al-Islamy.
***
Pemikiran-pemikiran
Natsir tentang tata Negara inilah yang kmudian ia praktikan saat ia menjadi
politisi. Akan tetapi pada saat yang sama ia harus berhapan dengan
kelompok-kelompok sekuler yang juga ingin memaksakan ideology mereka. Bagi
kelompok sekuler pemikiran politik yang mereka usulkan semata-mata datang dari
pemikiran dan falsafah Barat tentang masalah ini. Mereka mempromosikan
demokrasi, namun bukan demokrasi terbatas seperti yang dipikirkan Natsir.
Demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang berdasar pada falsafah asalnya
dari Yunani yang dalam konteks modern diasaskan pada prinsip-prinsip hak asasi
manusia (human right) yang menjamin
sepenuhnya kebebasan manusia. Demokrasi semacam ini adalah demokrasi liberal
sebagaimana yang dikenal dan dipraktikan di Barat.
Dalam
politik Indonesia, itulah tantangan paling berat yang dihadapi Natsir. Ia tahu
bahwa ini adalah ancaman yang serius bagi politik Islam. Sebagian pemikiran
politik sekuler ini ada yang berhasil disusupkan dalam system ketatanegaraan
dan system perundangan di negeri ini. Bertahannya KUHP model Belanda hingga
saat ini menjadi salah satu contoh tantangan nyata bagi politik Islam yang
menghendaki masalah-masalah pidana yang banyak aturannya dalam Al-Quran dan
Sunnah dilandaskan pada Islam, bukan pikiran liberal Belanda. Jelas ini
kekalahan poitik di Indonesia. Walaupun begitu, Natsir tidak serta merta setuju
bahwa Negara ini telah berubah menjadi Negara “Kafir” gara-gara kemenangan
kelompok sekuler dalam beberapa hal. Sepanjang dasar Negara ini Pancasila yang
masih memperlihatkan keberpihakannya pada Islam, Negara ini masih belum bisa
dikatakan Negara Kafir. Aturan yang sekuler hanyalah pertanda kekalahan gerakan
politik islam yang harus menjadi catatan umat Islam dan gerakan politik Islam
sejati. Menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara radikal untuk
diganti-misalnya-dengan Daulah Islam, Negara Islam Indonesia, atau label
apasaja yang barbau “Islam” bisa jadi bukan merupakan solusi kemenangan politik
Islam. Sebab, sejak kemerdekaanya Indonesia telah diperjuangkan untuk menjadi
Negara berbasis Islam. Sebagai hasilnya sudah jelas terlihat. Hanya perlu waktu
untuk menyempurnakan kemenangan Islam. Hanya perlu waktu untuk menguji
kesungguhan dan kerja keras umat Islam dalam mewujudkan cita-citanya. Wallahu
A’lam.