Gambar tema oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 29 November 2016

Ragam Ketaatan Manusia Terhadap Allah

- Tidak ada komentar
Ragam Ketaatan Manusia Terhadap Allah

oleh : KH. Aceng Zakaria


Setiap orang beriman seharusnya siap dan sadar untuk ta'at kepada Allah, dan tidak ada pilihan lain kecuali; sami'na wa atha'na. Allah swt telah menegaskan dalam firman-Nya: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin apabila Alla dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat itu nyata." (Q.S. Al-Ahzab [33] : 36)

Ayat ini berkaitan dengan kasus Zainab bin Jahsy, dimana Rasulullah saw meminang Zainab untuk Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya Rasulullah. Zainab dan saudaranya yang bernama 'Abdullah menolak pinangan tersebut, lalu turunlah ayat ini. Mereka pun kemudian menerima untuk dinikahi oleh Zaid, dan Rasul langsung menikahkan mereka.

Dalam ayat lain Alloh swt menegaskan: "Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan; "Kami mendegar dan Kami patuh", dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S. An-Nur [24] : 51)

Ayat ini juga menegaskan bahwa sikap orang yang beriman hendaklah sami'na wa atha'na terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya dan mereka itulah orang yang beruntung.

Itulah seharusnya sikap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kenyataannya, masih beragam ketaatan manusia terhadap Allah, diantaranya: Taat untuk melaksanakan shalat tetapi enggan mengeluarkan zakat karena dirasakan merugikan; taat untuk melaksankan shalat tetapi merasa berat untuk melaksanakan shaum Ramadhan; taat untuk melaksankan shalat dan shaum tetapi masih merasa berat untuk konsisten dalam menutup aurat; taat untuk melaksanakan shalat dan shaum Ramadhan, tetapi dalam hal aqidah masih percaya kepada dukun dan paranormal; taat dalam melaksanakan ibadah ritual tetapi dalam hal ibadah sosial masih banyak pelanggaran, baik terhadap tetangga, orangtua, atau terhadap pembantu rumah tangga; taat dalam melaksanakan shalat dan ibadah yang lainnya tetapi dalam hal berbisnis masih banyak terlibat dalam sistem riba dan ekonomi yahudi; memerima syariat shalat, zakat, shaum dan haji tetapi menolak syariat jinayat menurut hukum islam, dianggapnya bahwa hukum Islam tidak pas dan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Dianggap melanggar HAM, dan akan membuat disintegrasi bangsa, dan dianggap tidak berprikemanusiaan karena yang mencuri seperempat dinar saja atau kurang lebih satu juta rupiah harus dipotong tangannya, dan yang berbuat zina harus dirajam sampai mati.

Itulah ragam ketaatan manusia terhadap aturan dan ketentuan Allah swt. Padahal seharusnya taat kepada Allah itu hendaklah secara kaffah (menyeluruh) agar tidak termasuk kelompok orang yang "beriman terhadap sebagian ayat dan kuufur terhadap ayat yang lain. . ." (Q.S. Al-Baqarah [2] : 85). Dan semua aturan dan ketentuan Allah itu pasti cocok dengan fitrah manusia. Buktinya, selama 10 tahun Nabi menerapkan syari'at Islam dai Madinah, tidak sampai 10 orang yang mencuri yang sampai dipotong tangan. Demikian juga tidak sampai 10 orang yang berbuat zina yang sampai dihukum rajam. Sementara di Indonesia mungkin jutaan orang yang mencuri dan yang melakukan prostitusi setiap harinya.

Prioritaskan Perintah Allah
Jika terjadi dua perintah yang bertentangan, katakanlah kedua orangtua memerintah sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka prioritaskan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepadaKulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. Lukman [31] : 15)

Ayat ini menegaskan bahwa jika kedua orangtua memaksamu untuk melakukan syirik kedapa Allah, maka janganlah kamu mentaati perintah kedua oangtua dan taatilah perintah Allah. Hal ini adalah wajar, karena Allah arhamur-rahimin, zat yang paling kasih sayang diantara meraka yang penuh kasih sayang; Allah menyayangi hamba-Nya melebihi kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Orangtua baru mencurahkan setelah kasih sayangnya setelah anak intu lahir, itupun selama ibunya terjaga, belum tidur. Sedangkan disaat ibunya tidur, anak sudah diluar pengawasan ibunya. Sedangkan Allah telah mencurahkan kasih sayangnya dari mulai anak masih dalam kandungan, siapa yang merawat bayi dala kandungan? Memproses pertumbuhan janin sampai lahir ke dunia? Demikian juga Allah tidak hanya mengurus hamba-Nya sampai lahir, tetapi setelah dewasa pun masih tetap dalam perawatan-Nya. oleh karena itu, wajarlah kalau harus memprioritaskan perintah Allah daripada perintah kedua orang tua.

Demikian juga jika seseorang memerintahkan sesuatu yang bertentangan dalam perinah Allah, maka janganlah ia mentaati perintahnya. katakanlah, seorang atasan atau penguasa memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka jangan ditaati perintahnya, apapun resikonya karena Allah adalah Maha Penguasa di atas semua para penguasa. Dalam suatu hadits dinyatakan sebagai berikut: "Tidak ada ketaatan terhadap siapapun makhluk jika harus mendurhakai Allah sebagai khaliqnya."

Dalam ayat yang lain Allah swt menegaskan: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah oran-orang yang dzalim. Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Q.S. At-Taubah [9] : 23-24).

Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa sikap seorang mukmin hendaklah lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mentaati peraturannya daripada perintah selain perintah Allah dan Rasul-Nya, siapapun mereka dan jabatan yang diraihnya.


dikutip dari:
MAJALAH RISALAH

edisi:
Dzulqa'dah 1437 / September 2016

Kamis, 24 November 2016

Gerakan Dakwah

- Tidak ada komentar
Ikhtiar Mengembangkan Pergerakan Dakwah
(sebuah pengantar)
Oleh : Ust. d. Reviana Ibrahiem, S.Sos

Dalam pengertian logika, pergerakan bukanlah suatu hal yang istimewa. Karena bergerak dan dinamis itu merupakan ciri utama bagi makhluk hidup. Hanya pergerakan memiliki keutamaan lebih dari sekedar bergerak, karena pergerakan selalu berkaitan dengan perubahan, perubahan dengan sendirinya akan berlawanan dengan arus kemapanan (status quo).

Demikia halnya dengan pergerakan dalam islam. Pergerakan yang sepadan dengan makna harakah, sebetulnya terkait dengan tujuan Islam yang tinggi yaitu dakwah. Harakah menjadi sebentuk makna sosiologis bagi dakwah Islam yang mesti diemban oleh setiap da’i (penggerak dakwah dan pergerakan) yaitu mereka yang memiliki keunggulan ilmu dan metalitas dalam menunaikan pergerakan dakwah Islam.

Pergerakan adalah cita-cita sekaligus metode dari ajaran Islam yang diteladankan Rasululloh SAW kepada umatnya. Dalam literature khazanah fiqih kontemporer, fikih harakah sering disebut juga sebagai fiqih Hadarah atau cita-cita peradaban. Yaitu bagaimana memandu pergerakan umat dalam rangka membangun peradaban luhur dan komunitas unggul ditengah umat-umat dunia lainnya. Komunitas muslim dinilai mesti lebih baik dari pada makhluk hidup lain maupun umat manusia lain dimanapun.

Pergerakan islam seperti yang dicontokan Rosul dalam sirah dakwah, adalah terencana dan merupan sebuah rekayasa, tidak asal-asalan sekenanya. Konsep pergerakan selalu memerlukan persiapan matang dan strategi yang tepat dalam mewujudakan tujuan dari pergerakan tersebut. Pendeknya, pergerakan adalah perencanaan pergerakan dari mana menuju kemana. Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam sebuah pergerakan: pertama, tujuan dan misi pergerakan. Kedua, pelaku penggerak (muharrik). Ketiga, tempat atau basis pergerakan (markas al-dakwah). Keempat, komunitas pendukung baik pengikut utama (ashhabun) maupun penyokong pergerakan (hawariyyun).
Dalam sebuah pergerakan tentunya harus memiliki sebuah tujuan dan misi yang jelas. Lantas, apa tujuan tertinggi dari dakwah Islam? Tujuan utama dalam dakwah ini tiada lain untuk membentuk komunitas umat terbaik (khairu ummah) dalam tatanan umat yang unggul. Perlu dipahami bersama bahwa kualitas umat terbaik bukanlah jaminan gratisan tanpa ruh dan keringat, melainkan memerlukan upaya dan proses tanpa henti.

Terdapat enam dimensi dalam upaya membentuk umat terbaik.
[1] Dimensi Keagamaan, yaitu ikatan aqidah yang sama, nabi yang sama, dan kitab suci yang sama;
[2] Dimensi Kemanusiaan, yaitu bahwa ajaran Islam tidak hanya mementingkan hubungan ibadah yang bersifat ilahiyah tapi juga hubungan kemanusiaan yang bersifat insaniyah;
[3] Dimensi Kemasyarakatan, berupa misi persaudaraan Islam yang lebih kuat dari pada hubungan nasab dan keturunan;
[4] Dimensi Geografis, yaitu ikatan wilayah yang membentuk satu kesatuan unit yang utuh;
[5] Dimensi Peradaban, membentuk peradaban yang luhur dan jelas yang tak lain peradaban Islam;
[6] Dimensi Misi dan Tujuan yang menjadi pengikat utama kebersamaan umat.

Karena sifat dari pergerakan adalah perubahan, maka untuk merealisasikan tugas pergerakan dan peradaban tersebut mesti terwujudkan dalam lima pondasi utama membentuk peradaban, yaitu:
[1] Mengubah kebodohan menjadi pengetahuan;
[2] Mengubah pengetahuan menjadi ide pemikiran;
[3] Mengubah ide pemikiran menuju bentuk pergerakan;
[4] Mengubah pergerakan menjadi tujuan.
[5] Mengubah tujuan peradaban menjadi keridhaan Allah.

Sabtu, 05 November 2016

Pengertian Hijrah dan Ayat tentang Hijrah dalam Islam

- Tidak ada komentar
Pengertian hijrah - Kali ini kami akan memberikan anda bagaimana pandangan islam sebenarnya tentang hijrah. Mulai dari pengertian/definisi, esensi, hingga ayat-ayat tentang hijrah.
Semoga dengan adanya artikel ini, anda dapat faham apa yang disebut hijrah dalam islam. Diteruskan dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan anda sehari-hari.

Pengertian Hijrah

Kata hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah hijrah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syari’at Islam.
Dengan merujuk kepada hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw tersebut sebagaian ulama ada yang mengartikan bahwa hijrah adalah keluar dari “darul kufur” menuju “darul Islam”. Keluar dari kekufuran menuju keimanan.
Perintah berhijrah terdapat dalam beberpa ayat Al-Qur’an, antara lain: Qs. Al-Baqarah 2:218).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharpakn rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni;mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8: 74)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9: 20)

Esensi Hijrah

  1. Bahwa hijrah harus dilakukan atas dasar niat karena Allah dan tujuan mengarah rahamt da keridhaan Allah.
  2. Bahwa  orang-orang  beriman yang berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan untuk meraih rahmat dan keridhaan Allah, mereka itulah adalah mu’min sejati yang akan memperoleh pengampunan Allah, memperoleh  keberkahan rizki (ni’mat) yang mulai, dan kemenangan di sisi Allah.
  3. Bahwa hijrah dan jihad dapat dilakukan dengan mengorbankan apa yang kita  miliki, termasuk  harta benda, bahkan jiwa.
  4. Ketiga   ayat  tersebut  menyebut  tiga  prinsip  hidup, yaitu  iman,  hijrah dan jihad. Iman bermakna keyakinan, hijrah bermakna perubahan dan jihad bermakna perjuangan dalam menegakkan risalah Allah.

Makna Hijrah

Seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi 2 syarat, yaitu ada sesuatu yang ditinggalkan dan kedua ada sesuatu yang dituju (tujuan). Meninggalkan segala hal yang buruk, negative, maksiat, kondisi yang tidak kondisif, menju keadaan yang lebih yang lebih baik, positif dan kondisi yang kondusif untuk menegakkan ajaran Islam.
Dalam realitas sejarah hijrah senantiasa dikaitkan dengan meninggalkan suatu tempat, yaitu adanya peristiwa hijrah Nabi dan para sahabat meninggalkan tepat yang tidak kondisuf untuk berdakwah. Bahkan peristiwa hijrah itulah yang dijadikan dasar umat Islam sebagai permulaan ahun Hijriyah.
Tahun Hiriyah, ditetapkan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khatab RA, sebagai jawaban atau surat Abu Musa Al-As’ari.
Khalifah Umar menetapkan Tahun Hijriyah Kalender Tahun Gajah, Kalender Persia untuk menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumnya, seperti yang berasal dari tahun Gajah, Kalender Persia, Kalender Romawi dan kalender-kalendar lain yang berasal dari tahun peristiwa-peristiwa besar Jahiliyah. Khalifah Umar memilih peristiwa Hijrah sebagai  taqwim Islam, karena Hijrah Rasulullah aw dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa paling monumental dalam perkembangan dakwah.

Secara garis besar hijrah kita bedakan menajdi dua macam yaitu:    

1. Hijrah Makaniyah

Yaitu meniggalkan suatu tempat. Bebebrapa jenis hijrah maknawiyah, yaitu:

a. Hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Habasyiyah.
b. Hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah.
c. Hijrah dari suatu negeri yang didalamnya didominasi oleh hal-hal yang diharamkan.
d. Hijrah dari suatu negeri yang membahayakan kesehatan untuk menhindari penyakit menuju negeri yang aman.
e. Hijrah dari suatu tempat karena gangguan terhadap harta benda.
f. Hijrah dari suatu tempat karena menghindari tekanan fisik Seperti hijrahnya Ibrahim as dan Musa as, ketika Beliau khawatir akan gangguan kaumnya.
Seperti yang tecantum dalam al-Qur’an:
Berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku, Sesungguhnya Dialah yang Maha erkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. Al-Ankabuit, 29:26).

Maka keluarkanlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatri, dia berdo’a “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu (Qs. Al-Qashah, 2:21). 

2.    Hijrah Maknawiyah

a.    Hijrah I’tiqadiyah
Yaitu hijrah keyakinan. Iman bersifat pluktuatif, kadang menguat menuju puncak keyakinan mu’min sejati, kadang pula melemah mendekati kekufuran Iman pula kadang hadir dengan kemurniannya, tetapi kadang pula  bersifat sinkretis, bercampur dengan keyakinan lain mendekati memusyrikan. Kita harus segera melakuakn hijrah keyakinan bila berada di tepi jurang kekufuran dan kemusyrikan keyakinan. Dalam konteks psikologi biasa disebut dengan konversi keyakinan agama.

b.    Hijrah Fikriyah
Fikriyah secara bahasa berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran. Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran dari belahan bumi bisa secara oline kitya akses. Dunia yang kita tempati saat ini, sebenarnya telah menjadi medan perang yang kasat mata. Medan perang yang ada tapi tak disadari keberadaannya oleh kebanyakan manusia gendeang perang telah dipukul dalam medan yang namanya “Ghoswul Fikr” (baca: Perang pemikiran).
Tak heran berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana dari senjata-senjata perengut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi, dan sosialisasi bahkan momunisasi telah menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia menjadi virus ganas yang sulit terditeksi oleh kacamata pemikiran Islam. Hijrah fikriyah menjadi sangat penting mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut. Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni. Pemikiran yang telah disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw, melalui para sahabat tabi’in, tabi’it, tabi’in dan para generasi pengikut shalaf.
“Rasulullah Saw bersabda: Umatku niscaya akan mengikuti sunan (budaya, pemikiran, tradisi, gaya hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta-demi sehasta, sehingga mereka masuk ke lubang biawak pasti umatku mengikuti mereka. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apaakh mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani ? Rasulullah menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka.

c.    Hijrah Syu’uriyyah

Syu’uriyah atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semau yang ada pada diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kuarng Islami Banyak hal seperti hiburan, musik, bacaan, gambar/hiasan, pakaian, rumah, idola semua pihak luput dari pengaruh nilai-nilai diluar Islam. Kalau kita perhatikan, hiniran dan musik seorang muslim takjauh beda dengan hiburannya para penganut paham permisifisme dan hedonisme, berbau hutra-hura dan senang-senang belaka.
Mode pakain juga tak kalah pentingnya untuk kita hiraukan Hijrah dari pakaian gaya jahiliyah menuju pakaian Islami, yaitu pakaian yang benar-benar mengedepankan fungsi bukan gaya. Apa fungsi pakaian ? Tak lain hanyalah untuk menutup aurat, bukan justru memamerkan aurat. Ironis memang banyak diantara manusia berpakaian tapi aurat masih terbuka. Ada yang sudah tertutup tapi ketat dan transparan, sehingga lekuk tubuhnya bahkan warna kulitnya terlihat. Konon, umat Islam dimanjakan oleh budaya barat dengan 3 f, food, fan, fashan.

d.     Hijrah Sulukiyyah 

Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juag akhlaq. Dalam perjalanannya ahklaq dan kepribadian manusia tidak terlepas dari degradasi dan pergeseran nilai. Pergeseran dari kepribadian mulai (akhlaqul karimah) menuju kepribadian tercela akhlaqul sayyi’ah). Sehingga tidak aneh jika bermuculan berbagai tindak moral dan asusila di masyarakat. Pencurian, perampokan, pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan, penghinan dan penganiyaan seolah-olah telah menjadi biasa dalam masyarakat kita. Penipuan, korupsi,, prostitusi dan manipulasi hampir bisa ditemui di mana-mana. Dalam moment hijrah ini, sangat tepat jika kita mengkoreksi akhlaq dan kepribadian kita untuk kemudian menghijrahkan akhlaq yang mulia.

Ayat Ayat Tentang Hijrah

Dan berikut ini adalah beberapa ayat didalam al quran yang menjelaskan tentang hijrah:


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة : 218)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah : 218)

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (Ali Imran : 195)

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, (An-Nisaa : 89)

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, (An-Nisaa : 97)

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisaa : 100)

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Anfal : 72)

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Al-Anfal : 74)

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.  (Al-Anfal : 75)

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (At-Taubah : 20)


Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui,





Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.





Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.





Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.



Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.



(Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.



Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.


Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.